DPR Abai Putusan MK

FORUM KEADILAN – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat panitia kerja (Panja) telah menyelesaikan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) soal revisi Undang-Undang Pilkada. Dalam pembahasan tersebut, DPR mengabaikan pertimbangan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat pembahasan DIM, mayoritas anggota parlemen mengabaikan pertimbangan MK soal batas usia pencalonan kepala daerah dan putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah diatur secara serupa seperti jalur perseorangan.
Mayoritas fraksi partai politik di DPR, DPD dan pemerintah menyepakati soal ketentuan ambang batas usia pencalonan kepala daerah yang merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/HUM/2024 yang menyatakan bahwa batas usia minimal ditetapkan sejak pelantikan pasangan calon kepala daerah.
Wakil Ketua Baleg yang menjadi pimpinan dalam rapat Panja Ahmad Baidowi atau Awiek mengatakan bahwa mayoritas fraksi telah sepakat untuk merujuk pada putusan yang telah dijatuhkan MA.
“Secara jelas sudah dihitung pelantikan, entah bahasanya calon atau apa, putusan hukum harus kita hormati. Mayoritas fraksi memilih putusan MA, DPD juga dan pemerintah menyesuaikan,” kata Awiek dalam rapat Panja, Rabu, 21/8/2024.
Padahal, dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 sudah ditegaskan bahwa persyaratan batas usia minimum calon kepala daerah ditetapkan sebelum penetapan pasangan calon.
Dalam pertimbangannya, MK menilai semua hal yang menyangkut persyaratan harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Baleg Fraksi Gerindra Habiburokhman mengatakan bahwa putusan MK soal batas usia minimal calon kepala daerah tidak dipertimbangkan karena dalam amar putusannya MK menolak perkara tersebut.
Menurut Habiburokhman, yang menjadi mahkota putusan ialah amar putusan itu sendiri. Ia juga menggarisbawahi bahwa MK tidak memiliki kewenangan dalam menegasikan putusan MA.
“Tidak ada kewenangan-kewenangan MK menegasikan keputusan MA. Jadi keputusan MA tetap mengikat,” kata Habib.
Dalam proses pembahasan DIM Nomor 68 tersebut terjadi perdebatan antara fraksi PDIP yang diwakili oleh Putra Nababan. Beberapa kali ia menginterupsi jalannya rapat dan meminta kepastian putusan apa yang diambil oleh para fraksi.
Namun, pada akhirnya Awiek mengetuk palu sidang dan menyatakan bahwa Pasal 7 huruf e tentang UU Pilkada soal batas usia minimal kepala daerah mengacu pada putusan MA.
Sehingga, perubahan substansi yang disetujui Panja tersebut berbunyi “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, dapat berkontestasi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024 karena telah memenuhi ambang batas usia minimal.
Selain soal batas usia minimal kepala daerah, DPR juga abai terhadap putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora.
Dalam pembahasan substansi yang dilakukan Panja DPR, mereka justru mengubah amar putusan MK. Pada substansi tersebut, DPR masih mempertahankan ketentuan ambang batas pencalonan kursi DPRD sebanyak 20 persen dan 25 persen suara sah pemilu DPRD.
“Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan,” bunyi substansi yang disetujui Panja DPR.
DPR juga mengubah amar putusan MK menjadi partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan pasangan calon sepanjang memenuhi ambang batas dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) seperti jalur perseorangan.
Padahal, MK telah menyatakan pasal tersebut inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah jika telah memperoleh suara sah sepanjang 6,5 persen dan 10 persen dari jumlah DPT.
Apabila DPR mengesahkan revisi UU Pilkada, maka PDIP yang memiliki 14 persen suara sah di DPRD Jakarta tidak bisa mencalonkan kepala daerah di Jakarta karena harus mengikuti ambang batas yang ditentukan DPR sebesar 20 persen kursi di parlemen provinsi.
Pembegalan Putusan MK
Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini merespons pembahasan RUU Pilkada yang dilakukan Baleg terkait ambang batas syarat pencalonan dan juga usia minimal kepala daerah. Menurutnya, apa yang dilakukan DPR merupakan pembegalan terhadap putusan MK.
Selain itu, Titi mengatakan bahwa putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah berlaku final dan mengikat untuk semua pihak atau erga omnes, sehingga tidak bisa dibatalkan oleh pembentuk Undang-Undang, yakni DPR dan Pemerintah.
“Putusan MK hanya bisa dibatalkan atau diubah dengan putusan MK. Jadi selama tidak ada putusan MK yang mengubah pendirian hukum pada putusan MK yang lain,” katanya saat dihubungi, Rabu, 21/8.
Apabila putusan MK disimpangi, kata Titi, maka yang terjadi ialah pembangkangan konstitusi dan hal tersebut dapat menyebabkan Pilkada 2024 inkonstitusional. Ia juga mengatakan bahwa MK merupakan lembaga penafsir konstitusi satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945.
“Kalau disimpangi pembentuk UU melalui revisi terbatas atau Perppu, maka pasti akan diuji ke MK lagi dan dibatalkan lagi oleh MK,” katanya.
Titi meminta agar DPR dan Pemerintah tidak membuat kekacauan baru karena hal tersebut berpotensi buruk bagi pemerintahan Jokowi dan juga kepemimpinan Prabowo Subianto di masa mendatang.
Kritik senada juga dilontarkan oleh para pakar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Mereka menyerukan boikot Pilkada 2024 apabila DPR dan Pemerintah mengabaikan putusan MK.
Anggota CALS Yance Arizona mengatakan bahwa pembangkangan konstitusi oleh Presiden Jokowi dan partai politik pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat.
“Jika Revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, maka segenap masyarakat sipil melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan memboikot Pilkada 2024,” kata Yance melalui keterangan tertulis, Rabu, 21/8.
Mereka juga mendesak KPU untuk menindaklanjuti putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dengan segera merevisi peraturan tersebut sesuai amar putusan MK.
Kawal Putusan MK Menggema di Medsos
Hashtag #KawalPutusanMK menggema di media sosial (medsos), terutama di media X (Twitter). Sampai detik ini, setidaknya sudah terdapat 382 ribu postingan yang memakai tagar Kawal Putusan MK.
Tagar ini merupakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap revisi UU Pilkada yang dilakukan Baleg DPR secara kilat tanpa mempertimbangkan partisipasi publik.
Beberapa pengamat politik dan pakar hukum tata negara serta netizen turut menggunakan tagar tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap putusan MK dan sekaligus mengungkap rasa kekecewaan terhadap DPR.
Selain kritik di media sosial, perlawanan juga datang dari Partai Buruh yang merupakan pemohon perkara Nomor 60/2024. Mereka akan melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung Parlemen pada Kamis, 22 Agustus 2024 pukul 09.00 WIB.
Dalam tuntutannya, mereka mendesak DPR untuk tidak melawan dan mengubah keputusan MK No. 60/PUU-XXII/2024.
Selain itu, mereka juga meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengeluarkan Peraturan KPU sebagaimana amar putusan MK.*