Kamis, 18 September 2025
Menu

Pemerintah Minta MK Tolak Permohonan soal STR Tenaga Kesehatan

Redaksi
Sidang perkara Nomor 49 dan 50/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, 12/8/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Sidang perkara Nomor 49 dan 50/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, 12/8/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pemerintah meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan terkait berlakunya aturan syarat perolehan surat tanda registrasi (STR) pada tenaga kesehatan.

Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Kunta Wibawa Dasa Nugraha yang mewakili pemerintah dalam sidang perkara Nomor 49 dan 50/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, 12/8/2024.

“Pemohon telah salah dan keliru dalam dalilnya yang menyatakan pada pokoknya tidak ada kewajiban untuk melaksanakan pendidikan profesi sebelum berlakunya Undang-Undang 17 2023 pasa Pasal 212 ayat 2,” kata Kunta saat membacakan keterangan pemerintah untuk perkara Nomor 49/2024, Senin.

Perkara ini diajukan oleh Shafa Syahran, Satria Prima Arsawinata, Bunga Nanda Puspita yang merupakan lulusan dan mahasiswa Program Studi Gizi. Mereka menguji ketentuan Pasal 212 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan soal syarat perolehan surat tanda registrasi tenaga kesehatan.

Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan praktik setelah lulus pendidikan profesi dan diberi sertifikat profesi.

Menurut Kunta, ketentuan serupa pernah diatur dalam Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan, di mana mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional. Sementara pada Pasal 26 disebutkan bahwa peserta yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi.

“Para Pemohon dengan status mahasiswa dan atau lulusan program studi gizi bukan lah termasuk ke dalam pendidikan program profesi, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengikuti uji kompetensi dan mendapatkan sertifikat profesi,” katanya.

Untuk itu, kata Kunta, Mahkamah harus menolak permohonan para Pemohon karena tidak berdasar dan tidak beralasan hukum.

Sementara untuk perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024, Kunta juga meminta MK menolak permohonan yang diajukan oleh Iwan Hari Rusawan yang mendalilkan bahwa Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan hanya mengakomodir pendidikan profesi dan pendidikan tinggi.

Kunta mengatakan, untuk melakukan sirkumsisi atau sunat harus memiliki kualifikasi jenjang formal yang tingkat keilmuannya dapat diukur dan menyelesaikan pendidikan secara berjenjang.

Kunta pun menyindir Pemohon yang hanya melakukan tindakan khitan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Ia pun turut mempertanyakan metode seperti apa yang dilakukan Pemohon saat melakukan sunat.

“Pemohon tidak termasuk orang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk melakukan pelayanan kesehatan tradisional karena tidak mempunyai surat tanda penyehat tradisional,” katanya.

Untuk diketahui, dalam sidang sebelumnya, Iwan mengaku telah berpengalaman melaksanakan khitan atau sunat selama lebih dari 15 tahun baik kepada laki-laki maupun perempuan.

Iwan tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti uji kompetensi, sehingga tidak dapat mengajukan STR. Akibatnya, Pemohon tidak dapat mengajukan izin praktik menjalankan pekerjaannya untuk mencari nafkah.*

Laporan Syahrul Baihaqi