Guru Besar Paramadina: KIM Plus adalah Gejala Oligarki Politik
 
                        FORUM KEADILAN – Guru Besar Universitas Paramadina Deden S Damanhuri menyoroti munculnya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di Pilkada 2024. Ia menilai Koalisi tersebut telah memutilasi hak rakyat dalam menentukan calon pemimpin sekaligus merusak iklim demokrasi di Indonesia.
“KIM Plus ini seperti strategi Machiavellian, sebuah niat jahat. Niat jahat di sini bisa tafsirkan mengambil alih hak rakyat oleh sebagian orang yang beberapa tahun terakhir ini bukan hanya menurunkan indeks demokrasi, menghancurkan ketatanegaraan dan etika, tetapi juga menjadikan ruang politik kita hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, bahkan sampai di ruang bisnis sekalipun,” ujar Deden di acara Zoominari Kebijakan Publik ‘Rencana Jahat KIM Plus bagi Rakyat Jakarta’, Sabtu, 10/8/2024.
Deden mencurigai bahwa KIM Plus adalah gerakan yang dibuat oleh para oligarki yang memiliki kepentingan untuk menguasai Indonesia.
“Siapa kekuatan di balik KIM Plus ini? Apakah pembentukan KIM Plus ini murni dari elit partai? Saya sih tidak yakin, karena studi-studi empiris yang saya pelajari, ini adalah gejala oligarki politik. Di Indonesia ini gejala oligarki politik muncul karena di balik itu ada oligarki bisnis. Saya kira operator dari KIM Plus ini hanya mereproduksi wacana bahwa ini demi kepentingan umum, bangsa dan negara, padahal justru sebaliknya ingin mempertahankan kekuasaan,” tuturnya.
Menurut Deden, apa yang dilakukan para elit dengan gagasan KIM Plus adalah upaya legalisasi pola kepemimpinan yang otoriter. Sebab, menurutnya, KIM Plus juga dibuat dalam rangka menjegal calon-calon kuat yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah.
“Ada upaya legalistis otoritarianisme. Setelah mempertahankan tiga periode tidak berhasil, maka dilakukanlah upaya penjegalan kepada pribadi-pribadi tertentu dalam rangka mengamankan program-program atau proyek baru pemerintah. Ini yang rusak demokrasi dan etika,” tuturnya.
Padahal, kata Deden, semestinya pemerintahan yang sehat itu harus ada pihak oposisi agar ada yang mengontrol. Untuk itu, dia mengimbau bahwa kepemimpinan kepala daerah tak harus dari KIM.
“Seharusnya biarkan saja Gubernur Jakarta dan gubernur-gubernur di daerah lain tidak dalam genggaman KIM. Koalisi gemuk akan merusak demokrasi kita. Dalam demokrasi itu harus ada check and balance, harus ada pengontrol,” ujarnya.
Menurut Deden, fenomena KIM Plus ini terjadi karena ada tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada para pemimpin partai yang mungkin punya kesalahan-kesalahan, sehingga mereka tersandera.
“Pimpinan partai partai kita ini hidup di tengah ekosistem politik yang transaksional. Dalam konteks ini siapa pun bisa kena kasus. Hal ini lah yang tampaknya dimanfaatkan oleh oligarki untuk menggiring kepada gagasan tertentu yang dalam hal ini KIM Plus,” pungkasnya.*
Laporan Muhammad Reza

 
                                     
                                     
                                    