Selasa, 16 September 2025
Menu

UU Pilkada Digugat, MK Diminta Kabulkan Kampanye di Kampus Tanpa Atribut

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil soal larangan aturan kampanye dalam perguruan tinggi pada Undang-Undang (UU) Pilkada. Para Pemohon meminta agar MK mengabulkan kegiatan kampanye di kampus tanpa atribut kampanye.

Permohonan yang teregister Nomor 69/PUU-XXI/2024 ini diajukan oleh dua mahasiswa Universitas Indonesia, Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria.

Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Agenda sidang perbaikan permohonan tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan dibantu oleh dua hakim konstitusi, yaitu Guntur Hamzah dan Arsul Sani di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 25/7/2024.

Dalam sidang perbaikan, Gloria menambahkan soal pentingnya pemberian izin kampanye di perguruan tinggi pada tahapan kampanye, bukan sebelum kampanye Pilkada serentak 2024.

Gloria menyebut bahwa fakta yang terjadi selama pencalonan kepala daerah, partai politik ataupun gabungan partai politik, sering kali mengumumkan nama paslon kepala daerah di menit terakhir sebelum pendaftaran paslon ditutup.

Gloria mencontohkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dan juga Djarot Saiful Hidayat dengan Sihar Sitorus di Pilkada Sumatera Utara 2018 yang mendaftar di akhir waktu pendaftaran.

“Berdasarkan keadaan dimaksud, ditemukan fakta bahwa tidak semua paslon kepala daerah dipersiapkan sejak lama oleh para pengusungnya. Terdapat pula calon kepala daerah yang diumumkan sejak saat-saat terakhir,” katanya.

Menurut Gloria, hal ini berdampak pada kemungkinan bakal paslon kepala daerah yang sudah mempersiapkan diri sejak awal, namun batal mendaftar calon.

Oleh karena itu, Gloria berkesimpulan bahwa penyelenggaraan diskusi publik, debat akademis, dan uji gagasan di universitas apabila dilakukan dalam tahap kampanye.

“Dengan demikian, Pemohon berkesimpulan, penyelenggaraan diskusi publik, debat akademis, dan uji gagasan di perguruan tinggi akan semakin berdampak apabila dilakukan dalam tahap kampanye. Sebab, para calon yang diuji juga telah memiliki kedudukan yang jelas dan pasti sebagai calon kepala daerah,” katanya.

Para Pemohon juga meminta kepada Mahkamah untuk mengabulkan provisi untuk mempercepat dan memprioritaskan perkara Pemohon. Apabila provisi permohonan tidak dikabulkan, kata Gloria, maka terdapat potensi perkara diputus setelah penetapan pasangan calon kepala daerah.

Menurut Gloria, hal ini akan berdampak pada tiga kerugian kepada Pemohon, antara lain ialah hilangnya momentum, sehingga apabila permohonan perkara dikabulkan, maka norma baru tersebut baru dapat diterapkan pada Pilkada Serentak 2029.

Selain itu, kata Gloria, tidak terwujudnya semangat koherensi pengaturan pemilihan kepala daerah dengan pengaturan hukum pemilu pada Pilkada serentak 2024.

“Hilangnya kesempatan dan konstitusionalitas para Pemohon dan civitas akademika di perguruan tinggi untuk menguji para calon secara akademis sebagai salah satu sarana informasi yang akan memengaruhi pilihan pemilih dalam pilkada serentak 2024,” katanya.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Pasal 69 huruf i UU Nomor 1 Tahun 2015 “Sepanjang frasa ‘tempat pendidikan’ dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,”

Mereka meminta agar frasa tempat pendidikan dalam larangan kampanye pilkada diganti menjadi “mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dan penanggung jawab dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye“.*

Laporan Syahrul Baihaqi