Kepala Daerah Dipilih DPRD, Demokrat Dilema
FORUM KEADILAN – Pengamat politik dari Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, menilai Partai Demokrat berada dalam posisi politik yang kian menyerupai simalakama dalam menyikapi wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Menurutnya, dilema Demokrat bukan sekadar soal mekanisme Pilkada, melainkan menyangkut arah besar dan konsistensi iman politik partai ke depan.
Ia menilai, Partai Demokrat berada di persimpangan antara menjaga kenyamanan elite koalisi pemerintah atau mempertahankan positioning sebagai partai yang masih menjual narasi demokrasi elektoral dan kedekatan dengan pemilih.
“Demokrat tidak bisa sepenuhnya melawan arus koalisi pemerintah, tapi juga tidak mungkin mengabaikan suara publik. Terlalu condong ke elite berisiko menjauhkan mereka dari basis pemilih,” kata Arifki dalam pernyataan persnya, Selasa, 30/12/2025.
Ia menjelaskan, sikap maju-mundur Demokrat mencerminkan kegoyahan orientasi politik di tengah konsolidasi kekuasaan partai-partai koalisi. Di satu sisi, Demokrat tidak ingin terlalu jauh berseberangan dengan mitra koalisi pemerintah.
“Di sisi lain, Demokrat juga memiliki kepentingan elektoral untuk tetap menjaga kedekatan dengan aspirasi rakyat,” ujar Arifki.
Situasi tersebut menjadi semakin sensitif karena Demokrat memiliki figur utama, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang secara politik dinilai harus diproyeksikan sebagai calon wakil presiden atau calon presiden pada Pemilu 2029.
Dalam kalkulasi tersebut, berhadapan secara frontal dengan rakyat, terutama melalui sikap yang dianggap mengurangi partisipasi publik dinilai sebagai langkah berisiko tinggi.
“AHY tidak bisa dibangun sebagai figur nasional dengan melawan aspirasi publik. Modal utamanya adalah penerimaan rakyat, bukan semata restu elite,” ujarnya.
Arifki menilai, dinamika ini membuka potensi manuver Demokrat untuk berbalik mendukung pilkada melalui DPRD. Sikap tegas Partai Gerindra yang menyatakan dukungan terhadap Pilkada melalui DPRD turut menempatkan Demokrat dalam posisi sulit.
Menurutnya, bertahan pada wacana Pilkada langsung berisiko merenggangkan hubungan dengan partai-partai koalisi yang memiliki semangat berbeda dalam membaca arah demokrasi lokal. Namun, mengikuti desain politik elite juga mengandung risiko elektoral bagi Demokrat ke depan.
“Demokrat sedang berhitung keras. Mereka sadar, 2029 bukan sekadar soal koalisi, tapi soal legitimasi. Tanpa dukungan rakyat, figur sekuat apa pun akan rapuh,” pungkas Arifki.
Dalam konteks ini, Arifki menilai wacana Pilkada melalui DPRD bukan lagi sekadar agenda elektoral, melainkan menjadi medan uji konsistensi Demokrat: memilih aman bersama elite kekuasaan atau mengambil risiko politik demi menjaga kepercayaan rakyat sebagai modal menuju Pilpres 2029.
Wacana pilkada tidak langsung direncanakan akan dibahas dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2026. Pembahasan akan dilakukan secara kodifikasi atau omnibus law bersama dengan RUU Pilkada dan RUU Partai Politik.
Partai Gerindra dan NasDem bergabung dengan deretan partai pendukung Pilkada tidak langsung lainnya, yaitu Golkar, PKB, dan PAN. Sementara itu, PDIP secara tegas menyatakan penolakan terhadap wacana tersebut.
Adapun Partai Demokrat belum mengambil sikap final dan masih menimbang berbagai opsi serta dampak politik dari penerapan Pilkada tidak langsung. *
Laporan oleh: Muhammad Reza
