Senin, 29 Desember 2025
Menu

Pengamat: Meredupnya Citra Ridwan Kamil Tandai Runtuhnya Politik Pencitraan

Redaksi
Mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK). | Dok Pemprov Jabar
Mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK). | Dok Pemprov Jabar
Bagikan:

FORUM KEADILAN — Pengamat sosial-politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Abdul Hakim, menilai meredupnya pesona personal branding mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bukan sekadar persoalan individual, melainkan gejala dari krisis politik yang lebih struktural di Indonesia.

Menurut Abdul Hakim, publik selama ini disuguhi figur politisi yang tampak aktif bekerja dan komunikatif, namun semakin sulit menemukan hasil kebijakan yang konkret. Dalam konteks ini, pencitraan politik tidak lagi berfungsi sebagai alat pendukung kekuasaan, melainkan justru menggantikan kerja kekuasaan itu sendiri.

“Akibatnya, muncul apa yang disebut voters fatigue, yakni kelelahan konstituen terhadap figur-figur yang terlalu lama menjual citra, tetapi terlalu singkat menghasilkan kinerja,” kata Abdul Hakim kepada Forum Keadilan, Minggu, 28/12/2025.

Ia menegaskan, runtuhnya personal brand Ridwan Kamil merupakan gejala paling kasat mata dari kecenderungan tersebut.

“Fokus berlebihan pada figur menutup persoalan yang lebih mendasar. Politik kita semakin menjauh dari perdebatan kebijakan dan semakin dekat pada pengelolaan kesan,” ujarnya.

Abdul Hakim menjelaskan bahwa personal branding sejatinya bukan sesuatu yang keliru dalam politik. Namun, ketika tidak ditopang oleh fondasi institusional yang kuat, personal branding berubah menjadi ilusi kepemimpinan.

“Karisma tanpa rasionalisasi dan institusionalisasi akan mati bersama ekspektasi publik yang tidak terpenuhi,” kata dia.

Ia juga menyoroti fenomena banyak politisi yang berhenti pada tahap “karisma digital”. Para politisi, kata dia, membangun relasi langsung dengan publik melalui media sosial, sambil melewati peran Partai, Institusi, bahkan kebijakan.

“Negara dipersonalisasi. Ketika personal brand runtuh, tidak ada struktur yang menopang legitimasi,” ucapnya.

Ridwan Kamil, menurut Abdul Hakim, menjadi contoh ilustratif bukan semata karena kegagalannya, tetapi karena ekspektasi besar yang pernah dilekatkan padanya sebagai simbol pemimpin modern yang kreatif, komunikatif, dan dekat dengan anak muda.

“Masalahnya, simbolisme semacam ini memiliki masa kedaluwarsa. Ketika publik mulai menuntut hasil, bukan sekadar unggahan, retakan mulai terlihat,” ujarnya.

Dalam situasi tersebut, kata Abdul Hakim, simpati publik tidak selalu berubah menjadi kemarahan, melainkan menjadi sinisme. Ia menyebut sinisme sebagai bentuk ketidakpercayaan yang paling berbahaya bagi demokrasi.

“Karena sinisme tidak lagi berharap,” katanya.

Ia menambahkan, empati performatif yang tidak diikuti kerja substantif akan terasa kosong. Pada titik inilah politik pencitraan kehilangan daya tawarnya.

“Ia masih ada, tetapi tidak lagi cukup. Seperti kosmetik pada bangunan rapuh, hanya menunda runtuhnya kepercayaan,” tuturnya.

Sebagai perbandingan, ia mencontohkan kepemimpinan Kanselir Jerman Angela Merkel. Menurutnya, kepemimpinan yang relatif tidak menarik secara personal justru sering kali lebih efektif.

“Kepemimpinan yang tenang, konsisten, dan tidak narsistik terbukti mampu membangun kepercayaan jangka panjang,” pungkasnya. *

Laporan oleh: Muhammad Reza