Minggu, 21 Desember 2025
Menu

Pengamat: Banjir Sumatra 2025 Bukan Sekadar Bencana Alam, Tapi Produk Pilihan Politik

Redaksi
Kondisi bencana di Sumatra Barat | Dok. BPBD Sumbar
Kondisi bencana di Sumatra Barat | Dok. BPBD Sumbar
Bagikan:

FORUM KEADILAN — Pengamat Politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Abdul Hakim, menilai banjir besar yang melanda wilayah Sumatra pada 2025 tidak bisa dipahami semata sebagai bencana alam, melainkan sebagai konsekuensi langsung dari model pembangunan dan pilihan politik negara.

Menurut Abdul Hakim, dalam negara berkembang yang kaya sumber daya seperti Indonesia, bencana jarang benar-benar mengejutkan dari sisi sebab. Yang mengejutkan justru skala kerusakan dan jumlah korban.

“Banjir Sumatra 2025 memperlihatkan bagaimana negara mengelola risiko yang sebenarnya ikut ia ciptakan sendiri,” kata Abdul Hakim kepada Forum Keadilan, Minggu, 21/12/2025.

Ia membandingkan peristiwa tersebut dengan tsunami Aceh 2004. Jika tsunami Aceh menyingkap ketidaksiapan institusional negara, maka banjir Sumatra 2025 justru menunjukkan sesuatu yang lebih problematis.

“Negara sudah belajar, sudah diperingatkan, punya data dan instrumen kebijakan, tetapi secara sadar memilih menunda pencegahan demi stabilitas politik dan akumulasi ekonomi,” ujarnya.

Abdul Hakim menjelaskan, dalam kerangka ekonomi politik, bencana bukan kegagalan kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari model pembangunan tertentu. Pasca-reformasi, legitimasi politik Indonesia dibangun di atas dua janji utama, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas.

“Lingkungan diperlakukan sebagai input murah untuk dikonversi menjadi angka pertumbuhan, sementara risiko ekologis dianggap biaya eksternal yang bisa ditunda atau dinegosiasikan,” kata dia.

Ia menilai banjir Sumatra 2025 menunjukkan ketidaksinkronan antara kesadaran risiko dan keputusan pembangunan. Data ilmiah, peringatan dini, dan pengalaman bencana sebelumnya tersedia, namun tetap kalah oleh kompromi politik.

“Daerah aliran sungai yang kritis terus dibuka untuk perkebunan dan pertambangan karena menopang pendapatan daerah, pembiayaan politik lokal, dan jaringan patronase,” ujarnya.

Menurutnya, dalam situasi ini, risiko ekologis dinegosiasikan dalam siklus elektoral jangka pendek, sementara dampaknya ditanggung masyarakat dalam jangka panjang.

“Kelompok yang paling diuntungkan dari ekstraksi sumber daya justru memiliki kapasitas untuk menghindari dampak terburuk bencana. Sebaliknya, kelompok rentan yang hidup di wilayah marginal menjadi korban utama,” katanya.

Abdul Hakim juga mengkritik pola kehadiran negara yang dinilainya lebih bersifat kuratif ketimbang preventif. Negara hadir saat bencana melalui bantuan dan narasi empati, tetapi absen dalam pencegahan struktural. Bahkan, solidaritas sosial yang selama ini dipuji, menurutnya, memiliki sisi problematik.

“Gotong royong dan donasi publik berfungsi sebagai penyangga sosial yang menyerap kegagalan kebijakan, sehingga negara tetap mempertahankan legitimasi tanpa reformasi struktural,” ujarnya.

Ia menyebut kondisi tersebut sebagai bentuk hegemoni halus, di mana konsensus dibangun melalui emosi kolektif, bukan perubahan kebijakan mendasar.

Banjir Sumatra 2025 bukan kegagalan pembelajaran, tetapi kegagalan keberanian politik,” kata Abdul Hakim.

Menurut dia, ketika krisis terjadi, narasi darurat kerap menggantikan diskusi tentang tanggung jawab. Penangguhan izin dan pencabutan konsesi dilakukan secara reaktif dan simbolik, tanpa menyentuh struktur kekuasaan yang lebih dalam.

“Pertanyaan utamanya bukan lagi soal distribusi bantuan, melainkan siapa yang diuntungkan dari model pembangunan yang terus memproduksi bencana,” pungkasnya. *

Laporan oleh: Muhammad Reza