Rabu, 17 Desember 2025
Menu

MK Tegaskan Pembayaran Royalti Hak Cipta Dibebankan ke Penyelenggara Pertunjukan

Redaksi
Suasana sidang putusan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang dimohonkan oleh 29 musisi tanah air di Gedung MK Jakarta, Rabu, 17/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Suasana sidang putusan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang dimohonkan oleh 29 musisi tanah air di Gedung MK Jakarta, Rabu, 17/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pembayaran royalti terhadap karya cipta yang digunakan oleh pengguna ciptaan secara komersial dibebankan ke penyelenggara pertunjukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Hal itu termuat dalam Putusan MK Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh 29 musisi tanah air, seperti Armand Maulana hingga Nazriel ‘Ariel’ Irham dan kawan-kawan yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang Hak Cipta. Mahkamah mengabulkan sebagian dalil permohonan tersebut.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pihak yang seharusnya membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK ketika dilakukan penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial adalah pihak penyelenggara pertunjukan,” kata Enny saat membacakan pertimbangan di Gedung MK, Rabu, 17/12/2025

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut bahwa frasa “Setiap Orang” dalam Pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta mengarah pada orang perseorangan dan badan hukum yang dapat menggunakan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta atau pemegang hak cipta dengan membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK.

Frasa “Setiap Orang” dalam pasal tersebut merujuk pada siapa pun yang membuat sebuah pertunjukan berlangsung. Namun, terdapat penafsiran lagi yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam penerapannya, yakni terkait siapa pihak yang seharusnya membayar royalti kepada pencipta melalui LMK

Apalagi, kata MK, dalam sebuah pertunjukan terdapat dua pihak, yakni penyelenggara dan pelaku pertunjukan.

Dalam konteks ini, Mahkamah menilai secara wajar bahwa besaran keuntungan dari pertunjukan komersial ditentukan oleh jumlah tiket yang terjual. Dengan begitu, pihak yang mengetahui secara detail angka penjualan tiket tersebut adalah penyelenggara pertunjukan.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pihak yang seharusnya membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK ketika dilakukan penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial adalah pihak penyelenggara pertunjukan. Demikian pula halnya untuk pembayaran royalti bagi penggunaan hak cipta untuk pertunjukan secara komersial yang telah memperoleh izin langsung dari pencipta atau pemegang hak cipta yang tidak memberikan kuasa kepada LMK,” kata Enny.

Dengan begitu, frasa “Setiap Orang” dalam Pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta harus dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan’.

Parameter Imbalan yang Wajar

Mahkamah juga menyoroti frasa “imbalan yang wajar” dalam Pasal 87 ayat 1 UU Hak Cipta. Menurut Mahkamah, frasa tersebut masih menyisakan ruang penafsiran yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait makna imbalan atau royalti yang wajar.

Oleh karena itu, diperlukan penegasan bahwa parameter imbalan yang wajar harus merujuk pada tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan oleh lembaga atau instansi berwenang, dengan melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan terkait.

Mahkamah menambahkan, imbalan atas penggunaan ciptaan tidak boleh mengesampingkan kepentingan masyarakat untuk dapat mengekspresikan diri serta menikmati karya ciptaan secara mudah dan terjangkau. Ketentuan tersebut juga harus diterapkan sejalan dengan Pasal 23 ayat(5 UU Hak Cipta, sepanjang penyelenggara dan pelaku pertunjukan beritikad baik.

Selain itu, dalam penghimpunan royalti, LMK wajib berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai kelaziman praktik yang berlaku dengan berlandaskan prinsip keadilan. Mahkamah pun mendorong pembentuk undang-undang untuk segera mengatur royalti atau imbalan yang terukur, proporsional, serta tidak memberatkan pengguna ciptaan maupun masyarakat secara umum.

“Berdasarkan pertimbangan hukum, dalil para Pemohon perihal frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat 1 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’ adalah beralasan menurut hukum,” ucap Enny.

Adapun dalam putusan ini, sejumlah dalil yang dikabulkan MK adalah Pasal 23 ayat 5, Pasal 87 ayat 1, dan Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta. Sementara pasal yang ditolak adalah Pasal 9 ayat 3 dan Pasal 81 UU Hak Cipta.

Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 29 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.

Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.

Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke Kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta.

Para pemohon menilai, sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi