Kisruh Royalti UU Hak Cipta, MK: Sanksi Pidana Jadi Jalan Terakhir
FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana dalam kisruh royalti di Undang-Undang (UU) Hak Cipta harus menjadi upaya terakhir dan mengedepankan upaya restorative justice (keadilan restoratif).
Hal itu termuat dalam Putusan MK Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh 29 musisi tanah air, seperti Armand Maulana hingga Nazriel ‘Ariel’ Irham dan kawan-kawan yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam UU Hak Cipta. Mahkamah mengabulkan sebagian dalil permohonan tersebut.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bawa Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta merupakan dasar hukum dalam perlindungan hak ekonomi untuk pemegang hak cipta dari penggunaan karya ciptaannya secara komersial tanpa izin.
“Oleh karena itu, pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta karena menggunakan ciptaan secara komersial tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta, haruslah mengedepankan sanksi administratif dan mekanisme keperdataan, dibandingkan sanksi pidana,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaniggsih saat membacakan pertimbangan di ruang sidang, Rabu, 17/12/2025.
Menurut MK, hal tersebut sejalan dengan prinsip ultimum remidium dalam hukum pidana yang meletakkan sanksi pidana sebagai bentuk jalan terakhir dalam menyelesaikan persoalan hukum.
“Artinya, dalam konteks hak cipta, sanksi pidana hanya akan diterapkan setelah semua upaya penyelesaian mekanisme yang lain, seperti sanksi administratif atau perdata, dinilai tidak memadai atau tidak memberikan penyelesaian,” tambahnya.
Apalagi, kata MK penerapan sanksi pidana justru dapat berdampak pada ketakutan bagi pengguna ciptaan, mulai dari seniman, musisi hingga pelaku pertunjukan untuk tampil di ruang publik.
“Hal tersebut berpengaruh pula pada ekosistem seni dan budaya, yaitu kreativitas mereka dalam mengekspresikan dan menampilkan suatu karya,” kata Enny.
Padahal, UU Hak Cipta dimaksudkan agar hak cipta dapat menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional, yakni dengan memenuhi unsur perlindungan dan pengembangan ekonomi kreatif. Sehingga, hak cipta dapat memberi kontribusi bagi perekonomian negara.
Terkait dengan kisruh royalti di antara para musisi di tanah air, Mahkamah menilai bahwa kerugian akibat pelanggaran hak cipta pada hakikatnya merupakan kerugian ekonomi yang berdimensi luas dan tidak semata-mata bersifat personal, sehingga penyelesaiannya lebih tepat ditempuh melalui mekanisme non-pidana, bukan langsung dengan sanksi hukum pidana.
Untuk itu, Mahkamah menegaskan bahwa penyelesaian sengketa royalti harus mengedepankan proses penyelesaian secara administratif dan/atau keperdataan sebelum melanjutkan ke penerapan sanksi pidana.
“Sebab, tujuan utama penyelesaian secara administrasi dan perdata adalah untuk menyelesaikan sengketa, melindungi hak individu, dan memberikan pemulihan serta ganti rugi kepada pihak yang dirugikan,” katanya.
Mahkamah mencontohkan berupa penyelesaian perdata melalui pembayaran kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sehingga, penegakan sanksi pidana menjadi pilihan terakhir.
“Hal tersebut menjadi pedoman dan harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam penegakan hukum hak cipta,” katanya.
MK juga menegaskan bahwa penyelesaian secara restorative justice tak hanya berlaku bagi pelanggaran hak ekonomi pencipta, namun juga terhadap pelanggaran lainnya yang berkaitan dengan penggunaan ciptaaan secara komersial.
“Jikapun mediasi dan langkah non litigasi lainnya telah ditempuh namun tidak ada penyelesaian maka didahulukan sanksi administratif, sebelum pemberlakuan sanksi pidana,” ucapnya.
Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 29 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.
Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.
Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke Kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta.
Para pemohon menilai, sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi
