Kamis, 04 Desember 2025
Menu

Djuyamto Gunakan Uang Korupsi untuk Keagamaan, Hakim: Modus Cuci Uang

Redaksi
Djuyamto Cs di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 3/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Djuyamto Cs di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 3/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Hakim menilai bahwa tindakan hakim nonaktif Djuyamto yang menggunakan uang hasil korupsi untuk kegiatan agama, sosial, dan budaya merupakan modus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Djuyamto sendiri divonis selama 11 tahun pidana penjara karena terbukti menerima suap.

Hal tersebut tertuang dalam pertimbangan Putusan untuk Terdakwa Djuyamto dalam kasus suap vonis lepas ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak goreng yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 3/12/2025.

Dalam pledoinya, Djuyamto menyebut 85 persen uang suap yang diterimanya dipakai untuk kegiatan agama dan seni budaya, yakni untuk pembangunan kantor Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kartasura sebesar Rp5,65 miliar. Namun, majelis hakim menilai bahwa tindakan yang dilakukan Djuyamto tersebut keliru.

“Bahwa dalil penasihat hukum yang menyatakan penggunaan uang untuk kegiatan sosial budaya yang menunjukan terdakwa tidak serakah atau materialistis justru keliru dan berbahaya,” kata Ketua Majelis Hakim Effendi di ruang sidang, Rabu, 3/12.

Majelis berpendapat bahwa dalil tersebut mengandung cacat logika. Apabila dalil tersebut diterima, maka hal tersebut akan menjadi preseden buruk bahwa koruptor dapat mengurangi hukumannya dengan cara menggunakan uang hasil korupsi untuk kegiatan amal.

Selain itu, hal tersebut juga dinilai menjadi tidak masuk akal di mana koruptor yang menggunakan uang korupsi untuk membangun masjid akan dihukum lebih ringan.

“Koruptor yang menggunakan uang untuk panti asuhan akan dihukum lebih ringan, koruptor yang hedonis akan dihukum lebih berat. Padahal kedua-duanya sama-sama koruptor dan sama-sama merusak sendi-sendi kehidupan bernegara,” tambahnya.

Selain itu, majelis hakim menilai bahwa tindakan penggunaan uang hasil korupsi untuk kegiatan amal merupakan modus dari TPPU.

“Dalam berbagai kasus, penggunaan uang hasil suap untuk kegiatan sosial budaya yang dilakukan secara terbuka dan terlihat masyarakat justru menunjukkan dengan sengaja menutupi asal-usul uang haram, dengan membuat seolah-olah uang tersebut adalah uang pribadi yang sah,” ujar Effendi.

Di sisi lain, majelis hakim juga menilai bahwa tindakan Djuyamto justru menunjukkan kesadaran untuk menyembunyikan perbuatan tersebut.

Dalam persidangan, majelis menilai bahwa terdapat fakta bahwa Terdakwa tidak menggunakan uang untuk kepentingan pribadi, melainkan kegiatan amal.

“Hal ini justru menunjukkan bahwa terdakwa menyadari bahwa uang tersebut adalah uang haram yang harus dibersihkan melalui cara-cara yang dapat diterima masyarakat,” ujarnya.

Majelis hakim pun menyebut bahwa sudah terjadi berulang kali dalam sejarah hukum di Indonesia di mana koruptor menggunakan uang korupsi untuk kegiatan sosial, budaya dan agama.

“Majelis hakim secara konsisten menolak dalil tersebut karena bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana bahwa perbuatan melawan hukum tidak dapat dibenarkan atau dimaafkan dengan alasan penggunaan hasil kejahatan untuk kebaikan,” katanya.

Sebagai informasi, dalam pledoinya, Djuyamto menyebut 85 persen uang suap yang diterimanya dipakai untuk kegiatan agama dan seni budaya, yakni untuk pembangunan kantor Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kartasura sebesar Rp5,65 miliar.

Selain itu, uang suap tersebut digunakan untuk biaya kebudayaan berupa pembuatan wayang kulit Babad Kartasura, biaya launching Wayang Babad Kartasura, dan biaya penyelenggaraan 4 kali pagelaran Wayang Babad Kartasura sebesar Rp1,5 miliar.

Diberitakan sebelumnya, tiga hakim tipikor yang menjatuhkan vonis lepas (ontslag) dalam kasus ekspor CPO alias minyak goreng divonis selama 11 tahun pidana penjara. Adapun ketiga hakim tersebut ialah Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

Majelis hakim menilai bahwa ketiga hakim tersebut telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu subsider.

“Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Effendi saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 3/12.

Di samping pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda terhadap para Terdakwa sebanyak Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Sementara untuk pidana tambahan berupa uang pengganti dengan hukuman berbeda. Untuk hakim non aktif Djuyamto, terdapat pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp9.211.864.000 (miliar).

Sementara untuk dua anggota majelis hakim Agam dan Ali, keduanya harus membayar uang pengganti sebesar Rp6.403.780.000 (miliar).

Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar setelah satu bulan putusan inkrah, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Apabila para terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama empat tahun.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi