Kasus Vonis Lepas Migor, Hakim Nilai Djuyamto Inkonsisten
FORUM KEADILAM – Majelis hakim menolak pledoi Djuyamto yang dapat menjadi dasar keringanan hukuman lantaran dinilai inkonsisten. Majelis hakim menyebut, Djuyamto yang selama ini mengklaim memperjuangkan independensi hakim ternyata menerima suap, tindakan tersebut diibaratkan sebagai ‘petir di siang bolong’ yang meruntuhkan kepercayaan publik.
Hal tersebut tertuang dalam pertimbangan Putusan perkara kasus suap hakim dalam vonis lepas Korporasi di ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng (migor) dengan Terdakwa Hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut terkait pledoi atau nota pembelaan Djuyamto dan kuasa hukumnya yang aktif di organisasi kehakiman. Dalam pledoi tersebut, Djuyamto disebut memperjuangkan independensi hakim dan menulis buku berjudul ‘Kesaksian Perjuangan: Kisah Nyata Para Pengadil Menuntut Hak-Hak Konstitusional dan Independensi Kekuasaan Kehakiman’.
“Namun ternyata kemudian menerima suap yang merusak independensi tersebut. Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi yang sangat serius antara ucapan dan perbuatan,” kata Hakim Andi Saputra saat membacakan pertimbangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 3/12/2025.
Menurut majelis hakim, inkonsistensi tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman terdakwa, melainkan memberatkan.
Majelis hakim beralasan bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa Djuyamto secara sadar dan sengaja melanggar prinsip yang selama ini diperjuangkannya.
Selain itu, Djuyamto juga menunjukkan kemunafikan yang merusak kredibilitas gerakan reformasi peradilan dan membuat masyarakat dan sesama hakim bertanya-tanya.
“Jika yang memperjuangkan independensi hakim saja menerima suap, maka kepada siapa lagi kita bisa percaya,” katanya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, majelis hakim menilai bahwa perbuatan Djuyamto ibarat petir di siang bolong dan meruntuhkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
“Sehingga, apa yang dilakukan terdakwa di atas seperti petir di siang bolong dan meruntuhkan kepercayaan yang selama ini disematkan ke pundak terdakwa,” ucapnya.
“Menimbang bahwa atas pertimbangan hukum di atas maka pledoi di atas haruslah dikesampingkan,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, tiga hakim tipikor yang menjatuhkan vonis lepas (ontslag) dalam kasus ekspor CPO alias minyak goreng divonis selama 11 tahun pidana penjara. Adapun ketiga hakim tersebut ialah Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
Majelis hakim menilai bahwa ketiga hakim tersebut telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu subsider.
“Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Effendi saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 3/12.
Di samping pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda terhadap para Terdakwa sebanyak Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Sementara untuk pidana tambahan berupa uang pengganti dengan hukuman berbeda. Untuk hakim non aktif Djuyamto, terdapat pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp9.211.864.000 (miliar).
Sementara untuk dua anggota majelis hakim Agam dan Ali, keduanya harus membayar uang pengganti sebesar Rp6.403.780.000 (miliar).
Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar setelah satu bulan putusan inkrah, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Apabila para terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama empat tahun.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi
