Rabu, 03 Desember 2025
Menu

PLTD Apung, Saksi Bisu Gelombang Mahadahsyat Aceh 2004 dan Museum Edukasi Kebencanaan

Redaksi
Wartawan senior Selamat Ginting (kiri) bersama Koordinator Museum PLTD Apung Agus Aryanto (kanan) di Museum Kapal Apung atau PLTD Apung, Banda Aceh, Sabtu, 28/11/2025 pagi | Selamat Ginting/Forum Keadilan
Wartawan senior Selamat Ginting (kiri) bersama Koordinator Museum PLTD Apung Agus Aryanto (kanan) di Museum Kapal Apung atau PLTD Apung, Banda Aceh, Sabtu, 28/11/2025 pagi | Selamat Ginting/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Dua puluh satu tahun sudah berlalu sejak gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 memorakporandakan Aceh. Namun, jejak bencana dahsyat itu masih begitu nyata. Salah satunya berdiri kokoh di Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh: Museum Kapal Apung atau PLTD Apung, sebuah kapal raksasa yang menjadi saksi bisu kekuatan alam yang tak terbayangkan.

“Kapal sepanjang 63 meter dengan bobot sekitar 2.600 ton ini awalnya merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang beroperasi di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue,” kata Koordinator Museum PLTD Apung Agus Aryanto (54) di Banda Aceh, Sabtu, 28/11/20125 pagi. Saat tsunami, usia Agus 33 tahun sebagai konsultan pengadaan.

Namun, gelombang tsunami mahadahsyat yang lahir dari gempa 9 skala richter di Samudera Hindia menyeret kapal itu sekitar tiga kilometer hingga ke pusat kota. Ajaibnya, kapal seberat ribuan ton itu terdampar di tengah permukiman warga. Ini sebuah peristiwa yang hingga kini sulit dipercaya oleh masyarakat Aceh maupun pengunjung dari berbagai daerah.

Kini, kapal ini tidak lagi berfungsi sebagai pembangkit listrik. Pemerintah Aceh kemudian mengubahnya menjadi museum sebagai ruang edukasi kebencanaan sekaligus monumen pengingat akan dahsyatnya bencana yang merenggut ratusan ribu nyawa pada hari kelam tersebut.

Dari Kapal Pembangkit Listrik Menjadi Museum Edukasi

Transformasi PLTD Apung menjadi museum bukan sekadar memanfaatkan bangkai kapal yang tak lagi berfungsi. Lebih dari itu, pemerintah ingin memastikan generasi mendatang bisa memahami betapa dahsyatnya bencana tsunami dan pentingnya kesiapsiagaan.

Bagian dalam kapal kini difungsikan sebagai ruang edukasi yang berisi video ilustrasi proses terdamparnya kapal, kisah para penyintas, serta penjelasan mengenai mitigasi bencana. Visualisasi tersebut menarik minat masyarakat, terutama pelajar, yang kerap menjadikan museum ini sebagai tujuan field trip untuk belajar tentang kebencanaan sejak usia dini.

“Mohon maaf, karena listrik masih padam di sejumlah wilayah Aceh, maka ruangan ini tidak bisa kami buka,” kata Agus kepada Sri Istiqamah (56), pengunjung dari Jakarta yang sedang pulang kampung ke Banda Aceh.

Ia meninggalkan kampung halamannya pada 1976 mengikuti Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang dipindahkan tugas ke Jakarta. Rumah masa kecilnya hanya sekitar 500 meter dari lokasi Museum PLTD Apung tersebut.

Kompleks museum juga dilengkapi dua menara pandang, monumen, jalan setapak, dan ruang ABK yang tetap dipertahankan seperti kondisi aslinya. Salah satu yang paling unik, pengunjung dapat menggunakan teropong besar di lantai atas kapal dengan memasukkan koin. Dari sana, panorama Banda Aceh terlihat begitu megah.

Pada 22 April 2010, melalui Surat Keputusan Wali Kota Banda Aceh Mawardi Nurdin Nomor 160, Gampong Punge Blang Cut ditetapkan sebagai Gampong Wisata. Keberadaan PLTD Apung menjadi salah satu alasan utama penetapan tersebut.

Museum dengan Keunikan Religius

Museum PLTD Apung terbuka untuk umum setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 17.30 WIB. Namun, ada keunikan yang membedakan museum ini dari kebanyakan tempat wisata lainnya: museum ditutup sementara setiap waktu pelaksanaan salat Zuhur dan Asar.

Pengelola sengaja menghentikan aktivitas wisata agar pengunjung dapat melaksanakan ibadah terlebih dahulu. Sementara itu, tidak ada tiket masuk resmi. Pengunjung hanya diimbau memberikan sumbangan seikhlasnya ke kotak amal di pintu masuk. Seluruh dana yang terkumpul diserahkan kepada pengelola Masjid Punge Blang Cut untuk pembangunan rumah ibadah tersebut.

Kesaksian dari Masa Lalu: Wawancara dengan Koordinator Museum PLTD Apung

Di tengah cuaca Aceh yang kembali dilanda bencana—banjir bandang dan gempa berkekuatan 6,3 pada Sabtu pagi, 29 November—wartawan senior Selamat Ginting (59), kembali menyambangi PLTD Apung. Mengingatkannya pada peristiwa tsunami 21 tahun lalu saat memimpin kru Metro TV dan Media Indonesia yang berjibaku meliput bencana terdahsyat di dunia.

Di sanalah ia berbincang dengan Koordinator Museum Agus Aryanto, salah satu saksi hidup peristiwa tsunami 2004. Agus mengingat betul kepanikan dan kekacauan yang terjadi saat gelombang besar meluluhlantakkan wilayah pesisir Aceh. Baginya, keberadaan PLTD Apung bukan hanya simbol kedahsyatan alam, tetapi juga simbol keteguhan dan keberanian masyarakat Aceh untuk bangkit.

“Setiap kali saya melihat kapal ini, ingatan saya kembali ke hari itu. Betapa kuatnya gelombang yang mampu menyeret kapal sebesar ini ke tengah kota,” ujar Agus sambil memandang lambung kapal yang kini dipenuhi pengunjung.

Agus juga menegaskan bahwa museum ini bukan semata objek wisata, melainkan ruang pembelajaran tentang kesiapsiagaan bencana.

“Kita berharap anak-anak Aceh tumbuh dengan pemahaman yang baik tentang alam dan bagaimana menyikapi ancaman bencana. Museum ini menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan,” imbuhnya.

Monumen Ingatan Untuk Seluruh Dunia

PLTD Apung adalah bukti konkret bagaimana Aceh bangkit dari tragedi kelamnya. Kapal ini mengajarkan bahwa bencana bukan hanya tentang kepedihan, tetapi juga tentang kekuatan bertahan, kebersamaan, dan harapan. Desain Museum PLTD Apung serta Museum Tsunami Aceh merupakan karya Ridwan Kamil menang sayembara pada tahun 2007. Ridwan juga dikenal sebagai mantan Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat.

Salah seorang siswi kelas 7 SMPIT Nur Hikmah, Kelurahan Pondok Melati, Kecamatan Jati Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, Nes Abyana Ginting (12) menjadi pengunjung museum tersebut. Ia ikut menaiki kapal hingga areal teropong besar. Sambil mendengarkan penjelasan dari koordinator museum.

Hingga kini, ribuan wisatawan domestik dan mancanegara berkunjung setiap bulan untuk melihat langsung kapal raksasa yang terseret tsunami, sekaligus merenungkan betapa kuatnya alam dan pentingnya manusia untuk selalu siap menghadapinya.

Warga Aceh yang sedang dilanda bencana banjir bandang dan tanah longsor serta gempa pada Desember 2025 ini kembali mengingat peristiwa 21 tahun lalu.

“Bencana ini seperti tsunami kedua bagi Aceh,” kata Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang biasa disapa Mualem.

Di tengah upaya Aceh menjaga ingatan kolektif atas tragedi 2004, Museum PLTD Apung menjadi ruang refleksi yang hidup. Sebuah monumen sejarah yang tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga terus mengajarkan arti kewaspadaan dan ketangguhan.*

 

Laporan oleh: Selamat Ginting