Kamis, 27 November 2025
Menu

Selamat Ginting Kupas Ancaman Perang Generasi Kelima

Redaksi
Pengamat Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta Selamat Ginting, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK), Rabu, 26/11/2025 sore | Ist
Pengamat Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta Selamat Ginting, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK), Rabu, 26/11/2025 sore | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Stadium general yang menghadirkan pengamat politik dan militer Universitas Nasional (UNAS) Jakarta Selamat Ginting, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK) berlangsung dalam suasana darurat, Rabu, 26/11/2025 sore. Tanpa menggunakan listrik, AC, mikrofon, maupun proyektor, acara tetap digelar secara sederhana di tengah situasi Aceh yang dilanda bencana banjir dan pemadaman listrik massal.

Sejak Rabu pagi sekitar pukul 07.30 WIB, sejumlah wilayah di Aceh mengalami pemadaman listrik akibat robohnya tower transmisi 150 kV di ruas Arun–Bireuen yang diterjang banjir bandang. Kondisi ini diperburuk dengan gangguan jaringan internet yang membuat masyarakat kesulitan berkomunikasi. Untuk mengirim pesan WhatsApp saja berjalan sangat lambat, sementara akses aplikasi untuk transaksi nyaris tidak bisa dilakukan.

Bencana banjir juga menyebabkan sejumlah ruas jalan terputus, sementara hotel-hotel di Banda Aceh dan sekitarnya penuh oleh warga dan pelintas yang terpaksa bermalam karena perjalanan mereka terhenti. Hingga saat ini, sembilan daerah di Provinsi Aceh telah menetapkan status darurat banjir, yakni Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat.

Data sementara mencatat 46.893 jiwa terdampak dan 1.497 di antaranya harus mengungsi. Banjir paling parah melanda Aceh Timur, Aceh Singkil, dan Aceh Utara, dengan ketinggian air mencapai 80 cm yang merendam fasilitas umum hingga lahan pertanian. Hingga berita ini diturunkan, banjir masih menggenangi banyak wilayah tersebut.

Antusiasme Mahasiswa Tetap Tinggi

Di tengah keterbatasan, para mahasiswa dan dosen tetap memenuhi aula FISIP USK untuk mengikuti stadium general bertema “Bagaimana Mahasiswa Menghadapi Perang Generasi Kelima untuk Indonesia yang Berdaulat”. Mereka hadir dengan penuh antusias meski ruangan minim pencahayaan dan tanpa fasilitas audio.

Acara ini turut dihadiri Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama FISIP USK Maimun, yang mewakili Dekan Prof. Dr. Mahdi Syahbandir, Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan Wais Al-Qarni, Kepala Laboratorium Ilmu Pemerintahan Mukhrijal, serta dosen Universitas Teuku Umar Said Fadhlain.

Ancaman 5GW dan Peran Strategis Mahasiswa

Dalam pemaparannya, Selamat Ginting menjelaskan bahwa Perang Generasi Kelima (5th Generation Warfare/5GW) adalah bentuk peperangan tanpa bentuk fisik yang memanfaatkan informasi, teknologi digital, dan manipulasi psikologis sebagai senjata utama. Menurutnya, ancaman ini sangat relevan bagi Indonesia, mengingat tingginya penggunaan internet, keberagaman masyarakat, serta posisi strategis negara di kawasan.

“Mahasiswa memiliki peran sentral dalam menghadapi 5GW. Mereka adalah agen perubahan, penjaga rasionalitas, pendorong literasi digital, inovator teknologi, sekaligus pemersatu bangsa,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa ketahanan nasional terhadap ancaman 5GW hanya dapat dibangun melalui kolaborasi kuat antara mahasiswa, kampus, pemerintah, dan masyarakat.

Empat Rekomendasi Strategis

Selamat Ginting juga menyampaikan empat rekomendasi untuk memperkuat daya tahan bangsa terhadap ancaman perang generasi kelima:

1. Mahasiswa perlu meningkatkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis.

2. Perguruan tinggi harus memperkuat kurikulum berbasis keamanan digital dan geopolitik modern.

3. Pemerintah perlu memberikan dukungan pada riset dan inovasi siber di kampus.

4. Masyarakat harus berpartisipasi aktif menjaga ruang digital tetap sehat dan bebas polarisasi.

Acara yang berlangsung dalam kondisi darurat itu menjadi simbol ketangguhan akademisi dan mahasiswa Aceh untuk tetap menimba ilmu, sekaligus menunjukkan urgensi memahami dinamika ancaman modern di tengah situasi bencana.*