Kasus Ijazah Jokowi dan Luka Etika Bangsa yang Belum Sembuh
Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra MBA
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Di tengah derasnya arus modernitas, globalisasi, dan pertarungan ideologi yang merembes ke berbagai sendi kehidupan, bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang jauh lebih mendasar, yaitu kemerosotan budi pekerti. Sebuah konsep yang dalam literatur kebangsaan kita selalu diasosiasikan dengan kehalusan jiwa, kejernihan pikiran, dan keluhuran moral yang diwariskan para leluhur.
Budi pekerti bukan sekadar norma perilaku, tetapi fondasi yang membentuk karakter sebuah bangsa berupa kesopanan, rasa empati, gotong royong, kejujuran, tanggung jawab, dan akhlak yang menjunjung harkat kemanusiaan. Ketika sebuah bangsa kehilangan kualitas-kualitas itu, sesungguhnya ia bukan hanya mengalami krisis etika, tetapi juga krisis eksistensi.
Kasus ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal menyisakan banyak tanda tanya dan perdebatan publik, bukan sekadar perkara administrasi pendidikan. Ia telah berubah menjadi cermin terbesar dari rapuhnya integritas publik dan runtuhnya nilai-nilai dasar budi pekerti yang menjadi inti identitas keindonesiaan.
Kontroversi yang dipicu oleh temuan kajian digital forensik dan pendapat para ahli seperti Roy Suryo dan lainnya, kemudian bergulir menjadi persoalan hukum yang melibatkan kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang menggunakan pendekatan ilmiah untuk menguji keaslian dokumen tersebut. Alih-alih menjawab keresahan publik dengan keterbukaan dan sikap kesatria, menunjukkan ijazah asli sebagaimana lazim dilakukan pejabat publik di negara demokratis, namun konfrontasi justru diperlebar melalui penggunaan instrumen kekuasaan
Dalam preseden negara-negara modern, integritas pemimpin selalu diuji melalui transparansi. Sejarah mencatat, dari Richard Nixon dengan skandal Watergate hingga Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, pengkhianatan terhadap integritas publik sering menjadi alasan runtuhnya kepercayaan rakyat. Dalam konteks Indonesia, sengkarut ijazah Jokowi yang tidak disikapi dengan cara elegan justru memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat mereduksi etika, melemahkan institusi, dan pada akhirnya menggerus tatanan budi pekerti bangsa. Kasus ini telah membelah masyarakat, menciptakan polarisasi sosial, dan memperkuat ego sektoral di antara institusi-institusi yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan keadilan.
Pemilu yang semestinya menjadi pesta demokrasi dan ruang artikulasi aspirasi rakyat, berubah menjadi arena konfrontasi berkepanjangan, di mana perbedaan pandangan politik dipersepsikan sebagai permusuhan. Relawan politik yang pada awalnya diposisikan sebagai energi sosial, kini berubah menjadi simbol persekutuan kekuasaan, bahkan menjadi semacam berhala baru dalam lanskap politik nasional. Identitas ke-Indonesia-an yang sejak awal didesain sebagai ruang perjumpaan, kebersamaan, dan persatuan, kini terdesak oleh fanatisme kelompok dan loyalitas buta terhadap figur.
Krisis budi pekerti yang mencuat dari kasus ini tidak dapat dilepaskan dari cara kekuasaan dikelola selama satu dekade terakhir. Dalam banyak kesempatan, hukum tidak lagi tampil sebagai pedang keadilan, melainkan sebagai alat kekuasaan. Ketika hukum jatuh ke kaki politik, rasa keadilan publik tercederai, dan bangsa tidak hanya kehilangan kepercayaan pada institusi, tetapi juga kehilangan optimisme terhadap masa depan. Di sinilah titik paling riskan dari kehidupan berbangsa, ketika rakyat melihat bahwa nilai-nilai moral tidak lagi menjadi pedoman pemimpin, maka runtuhlah simpul-simpul kepercayaan yang menjadi perekat negara bangsa.
Persoalan ini semakin berat ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang secara konstitusional memperoleh mandat rakyat, seakan memilih jalan kompromi terhadap kerusakan warisan era sebelumnya. Pidato berapi-api tidak cukup untuk mengurai kerumitan situasi kebangsaan ketika akar persoalan tidak disentuh. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pandai berbicara, tetapi berani mengambil tindakan moral sekaligus politik untuk memulihkan martabat negara. Kompromi terhadap kesalahan masa lalu, apalagi kesalahan yang berdampak pada integritas publik, bukan hanya kelemahan, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bebas dari masalah, tetapi bangsa yang mampu menghadapi persoalan dengan keberanian moral. Jika bangsa ini terus terjebak dalam pola kompromi terhadap penyimpangan, maka sejarah akan mencatat bahwa Indonesia gagal membangun peradaban unggul bukan karena kurang sumber daya, melainkan karena runtuhnya nilai-nilai dasar etika publik.
Namun demikian, sejarah manusia mengajarkan bahwa setiap bangsa selalu memiliki peluang untuk bangkit. Dalam perspektif filosofis dan spiritual, krisis adalah jalan menuju kesadaran baru. Janji Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “inna ma’al usri yusra” (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan), bukan sekadar teks religius, tetapi energi harapan yang mengajarkan bangsa ini bahwa setiap ujian mengandung peluang kebangkitan. Indonesia adalah bangsa pemenang, bangsa yang lahir dari perjuangan moral, dan bangsa yang berdiri di atas fondasi nilai-nilai luhur yang telah teruji berabad-abad.
Tugas generasi hari ini bukan sekadar menuding atau mengeluh, tetapi mengembalikan budi pekerti sebagai napas kebangsaan. Pemimpin boleh datang dan pergi, tetapi nilai-nilai moral bangsa tidak boleh berubah menjadi abu. Ketika budi pekerti kembali ditegakkan, ketika kejujuran kembali menjadi standar kepemimpinan, ketika keberanian moral kembali menjadi identitas pejabat publik, maka luka etika yang ditimbulkan berbagai skandal, termasuk kasus ijazah Jokowi akan menemukan jalan pemulihannya.
Dan pada saat itu, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang disegani bukan karena kekuasaan politiknya, tetapi karena kemuliaan budi pekertinya.*
