Masatoshi Nakayama Guru Abadi Semangat Karate INKAI
FORUM KEADILAN – Dua truk warna hijau tentara milik Batalyon Zeni Konstruksi (Yonzikon)-13 Resimen Zeni Angkatan Darat (AD), meluncur dari kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Satu tujuannya Stadion Utama Senayan, Jakarta Pusat. Dua truk itu membawa rombongan karateka dari perguruan Institut Karate-do Indonesia (INKAI) ranting Tawon Lenteng Agung. Dipimpin Jakiman, perwira pertama berpangkat Kapten Korps Ajudan Jenderal.
Senpai Jakiman merupakan pelatih utama untuk kihon (dasar). Sedangkan pelatih kumite (pertarungan) Senpai Leo Wakarry, seorang Sersan Marinir. Sementara pelatih fisik dan kata (jurus), Senpai Denny Karundeng. Ketiganya pemegang sabuk hitam DAN-1 INKAI. Mereka mengikuti karate sejak PORKI (Persatuan Olahraga Karate-do Indonesia).
Ahad (Minggu) 11 Maret 1979 itu merupakan saksi perhelatan besar karate INKAI di Indonesia. Lebih dari seribu karateka, khususnya dari wilayah Ibu Kota datang untuk menyaksikan aksi The Great Master Karate dunia, Profesor Masatoshi Nakayama (saat itu 66 tahun) beraksi di atas panggung sepak bola stadion kebanggaan Indonesia. Pria kelahiran 1913 itu adalah salah satu murid langsung dari pendiri Shotokan Karate, Gichin Funakoshi. Setelah lulus dari Universitas Takushoku, Nakayama bergabung dalam Japan Karate Association (JKA) dan menjadi tokoh kunci dalam mengembangkan karate dari seni bela diri tradisional menjadi cabang olahraga modern yang mendunia.
Kharisma Nakayama
Sebagai murid sekolah dasar dan baru belajar karate selama sekitar 1,5 tahun, tingkatan sabuk biru kyu 4 1/2. Saya melihat kharisma seorang Nakayama. Betapa bangganya bisa mengikuti pelatihan bersama Maha Guru Karate dari Negeri Sakura. Apalagi panitia mengumumkan akan memberikan sertifikat latihan bersama skala besar.
Tercatat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat INKAI Letnan Jenderal GH Mantik, Ketua Dewan Guru INKAI Sabeth Muchsin, dan Ketua INKAI DKI Jakarta Albert Lumban Tobing. Tokoh karate senior INKAI era itu antara lain Harmen Lukas Tompodung, Nico Luminta, dan Mahyong Sikumbang.
Atlet-atlet karate INKAI yang terkenal dan sedang mempersiapkan diri mengikuti kejuaraan di Jerman Barat saat itu antara lain: Advent Bangun, Madju Dharyanto Hutapea, Abdul Kadir, Frederick Abels, Atut Agustinanto, Johny Kokong, Frederick Lumanauw, Suyana, Anastasia Taroreh, Christine Taroreh, dan Tini Susanto. Nyaris dari mereka, tidak ada yang tidak mengikuti momentum bersejarah itu. Ibarat “Lebaran-nya” karate INKAI.
Mereka semua adalah nama-nama top dari dunia karate, khususnya INKAI. Biasanya para atlet nasional itu berlatih di Komplek Olahraga Ragunan, Jakarta Selatan. Sebagai karateka pemula, kami kerap menonton mereka berlatih keras dan berpeluh keringat.
Namun di atas itu semua, tentu saja, Nakayama tak tertandingi sebagai profesor karate. Ia menjadi “pengantin”, bukan para atlet nasional itu. Pemilik sabuk hitam DAN IX JKA itu, memiliki postur yang mencerminkan karakter seorang budoka sejati. Tinggi sekitar 170 sentimeter dengan tubuh proporsional, berotot ramping, dan langkah tegap penuh keyakinan.
Rambutnya hitam lurus, tertata rapi. Matanya tajam dan dalam, memancarkan ketenangan khas seorang guru yang menguasai dirinya terlebih dahulu sebelum mengajarkan kepada orang lain. Warna kulitnya kuning terang, khas orang Jepang. Sorot wajahnya memancarkan kehangatan universal. Pancaran jiwa seorang pengajar. Tidak ada kesan angkuh dalam sikapnya. Justru yang tampak adalah kehormatan alami dan lahir dari kedisiplinan panjang.
Dalam setiap gerakannya, dari kata hingga kihon, tampak perpaduan antara kekuatan dan kelembutan, antara kendali dan kebebasan. Nakayama seakan menjadikan tubuhnya sebagai wujud konkret dari filosofi yang ia ajarkan. Apa itu? karate sejati bukan untuk menyerang, melainkan untuk menyempurnakan diri.
Saya tentu tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Nakayama di atas panggung. Ada penerjemah saat itu, namun suara bising tidak memungkinkan mendengarkan terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Yang jelas, Nakayama bukan sekadar seorang guru besar dari Jepang, melainkan figur sentral yang menyalakan api disiplin, ketekunan, dan sportivitas dalam diri ribuan karateka Indonesia yang menjadi muridnya. Ajarannya sampai hari ini hidup di tubuh perguruan INKAI.
Dari Jepang ke Nusantara
Di bawah kepemimpinannya, JKA menetapkan sistem pelatihan yang terstruktur, ujian sabuk berstandar internasional, serta metode pengajaran yang dapat diterapkan secara ilmiah. Cocok dengan nama INKAI sebagai institut, sekolah karate. Melalui pendekatan tersebut, karate menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat dunia tanpa kehilangan nilai-nilai budo (seni bela diri) yang luhur.
INKAI sebagai salah satu organisasi karate tertua dan terbesar di Indonesia, era itu berafiliasi langsung dengan JKA. Di sinilah pengaruh Nakayama terasa sangat kuat. Sistem latihan, penilaian teknik, hingga pola ujian Kyu & DAN di INKAI semuanya mengacu pada standar yang dirumuskan di bawah pengawasan Sang Nakayama.
Bagi para dewan guru INKAI, Nakayama adalah simbol konsistensi dan kesempurnaan teknik. Buku-buku karangannya seperti “Dynamic Karate” dan “Best Karate Series” menjadi kitab wajib yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui karya-karya itu, karateka Indonesia belajar bahwa karate bukan hanya tentang menendang atau memukul, tetapi tentang membentuk karakter dan keteguhan jiwa.
Bukan Sekadar Teknik
Nakayama mengajarkan karate sejati terletak pada keseimbangan antara kihon, kata, dan kumite. Namun, yang sering luput dipahami adalah pesan moral di baliknya: karate adalah jalan menuju kesempurnaan diri. Filosofi inilah yang hingga kini menjadi ruh dalam latihan-latihan INKAI di seluruh Indonesia.
Bagi generasi muda karateka, nama Nakayama mungkin terdengar jauh dan asing, tetapi ajarannya hidup di setiap salam karate “Oss”, setiap gerak dasar yang terukur, dan setiap keringat yang menetes di dojo.
Warisan Tak Pernah Padam
Kini, puluhan tahun setelah wafatnya Nakayama tahun 1987, warisannya tetap terjaga. Melalui INKAI dan ribuan dojo yang tersebar di Indonesia, semangatnya terus hidup: semangat untuk berlatih tanpa pamrih, menghormati guru, dan terus memperbaiki diri. PON Beladiri 2025 yang berakhir dua pekan lalu, sekaligus menunjukkan INKAI sebagai juara umum cabang karate memiliki semangat berlatih tanpa pamrih, menghormati guru dan pengurus, serta terus memperbaiki diri.
Di era modern ketika olahraga kerap bergeser ke arah prestasi semata, ajaran Nakayama mengingatkan kita bahwa karate sejatinya adalah jalan untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni kuat dalam tubuh, tajam dalam pikiran, dan luhur dalam hati.
Itulah Masatoshi Nakayama, bukan hanya guru besar karate. Melainkan penjaga api moral yang hingga kini menerangi perjalanan INKAI dan para karateka Indonesia. Warisannya bukan sekadar teknik, tetapi juga nilai kehidupan yang akan terus diwariskan selama masih ada yang berseru “Osu” (ejaan paling tepat dalam bahasa Jepang untuk sapaan ini). Sedangkan “Oss” adalah bentuk yang lebih umum dipakai di banyak dojo karate di luar Jepang yang artinya “saling menghormati”.*
Selamat Ginting
Anggota INKAI sejak 1977
Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (UNAS)
