Invasi Senyap Tiongkok di Bumi Pertiwi
Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra MBA
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Bangsa ini sungguh bernasib nahas, penandatanganan kesepakatan ekonomi Indonesia-Cina di era pemerintahan Jokowi, dinyatakan oleh Jokowi telah mendorong kerja sama Cina-Indonesia menjadi kemitraan yang setara dan menguntungkan. Diharapkan kerja sama itu, dapat memicu ekonomi dengan efek berganda dan berkelanjutan untuk jangka panjang.
Namun ternyata, realita di lapangan jauh panggang dari api. Kerja sama telah dimanipulasi oleh Cina, sebagai modus silent invasion, untuk memperbesar hegemoni Cina terhadap semua aspek kehidupan di Indonesia. Fakta menunjukan, Cina berhasil mengirim tenaga kerja mencapai 59.320 orang. Hal ini tidak berbanding lurus dengan investasinya yang sebesar US$8,22 miliar, apabila dibandingkan dengan investasi Singapura sebesar US$13,28 miliar tapi hanya menempatkan tenaga kerjanya 1,811 orang.
Belum lagi urusan investasi smelter nikel Cina yang mendapat karpet merah karena memperoleh status proyek strategis nasional (PSN), sehingga menurut almarhum Faisal Basri, Cina tidak membayar royalti dan memperoleh keuntungan sangat besar. Faisal Basri menambahkan bahwa hilirisasi nikel di Indonesia hanya sebatas produk Nikel Pig Iron (NPI) dan feronikel, yang 99% diekspor ke Cina. Artinya, Indonesia tetap sebagai pengekspor bahan baku nikel ke Cina. Selanjutnya proyek kereta api cepat, di mana terjadi ketidaksesuaian dari kesepakatan awal yang tadinya tidak melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tapi kenyataannya jadi melibatkan APBN.
Cengraman oligarki di Indonesia yang dikuasai kumpulan individu cukong etnis Tionghoa, telah membangun jaringan kompleks dengan politikus dan birokrasi untuk mengamankan kepentingan bersama mereka. Kelompok ini menggunakan kekuasaan ekonomi untuk mengontrol proses politik pada pemilu dan pilkada, dengan mendanai kampanye kandidat yang mereka dukung, membeli suara, dan memanipulasi opini publik melalui media.
Fenomena kuatnya pengaruh oligarki di Indonesia memiliki benang merah dengan pernyataan Wakil Kepala Urusan Cina Perantauan He Yafei bahwa peran Tionghoa perantauan begitu penting dalam rangka memenuhi ambisi Partai Komunis China untuk menguasai dunia.
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok terlibat dalam spionase di luar negeri, yang diarahkan berbagai metode melalui Kementerian Keamanan Negara (MSS), Kementerian Keamanan Publik (MPS), Departemen Kerja Front Bersatu (UFWD), Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) melalui Biro Intelijen Departemen Staf Gabungan, dan berbagai organisasi depan, serta badan usaha milik negara. Ia menggunakan berbagai taktik termasuk spionase siber untuk mendapatkan akses ke informasi sensitif secara jarak jauh, intelijen sinyal, intelijen manusia serta operasi pengaruh melalui aktivitas front bersatu yang menargetkan komunitas dan asosiasi Tionghoa di luar negeri.
Kepentingan nasional ditetapkan oleh Partai Komunis, intelijen menjadi alat langsung untuk memastikan kebijakan partai terlaksana tanpa hambatan. Kebijakan “Belt and Road Initiative” misalnya, diiringi operasi intelijen untuk mengamankan proyek infrastruktur di luar negeri, melindungi investasi, dan mengawasi potensi infiltrasi yang dapat mengancam narasi Beijing. Dalam sistem ini, batas antara kebijakan negara dan operasi intelijen nyaris tidak ada, keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Cina adalah contoh yang lebih disiplin dalam memadukan kepentingan nasional dan intelijen. Comprehensive National Security Concept yang diperkenalkan Xi Jinping pada 2014 memperluas makna “keamanan” jauh melampaui batas teritori. Bagi mereka, keamanan mencakup stabilitas ideologi, dominasi teknologi, ketahanan ekonomi, dan pengendalian narasi global. Inilah sebabnya, Ministry of State Security (MSS) tidak hanya memburu rahasia militer, tetapi juga menargetkan intellectual property di sektor AI, energi hijau, dan semikonduktor. People’s Liberation Army Strategic Support Force (PLASSF) mengawasi operasi di domain siber dan luar angkasa dengan satu tujuan: memastikan Beijing memiliki keunggulan di domain yang lawan belum siap memperebutkan.
Di Beijing, intelijen bukanlah entitas negara semata, melainkan perpanjangan tangan Partai Komunis. Sejak Xi Jinping memperkenalkan Comprehensive National Security pada 2014, batas definisi keamanan diperluas melampaui militer, mencakup ideologi, teknologi, dan ekonomi. Ministry of State Security (MSS) mengoperasikan jaringan HUMINT dan kontra-intelijen yang merambah komunitas diaspora. Intelijen Cina lebih sabar dalam permainan panjang, operasinya sering ditanam bertahun-tahun sebelum hasilnya dipanen, seperti infiltrasi di sektor teknologi Barat yang akhirnya menuai keberhasilan transformasi teknologi tinggi.
Pemerintah Cina secara terbuka menyatakan bahwa semua orang Cina di luar negeri, termasuk mereka yang memiliki kewarganegaraan asing dan bahkan mereka yang lahir dinegara lain, wajib menunjukan kesetiaannya kepada Tanah Air-nya Cina.
Partai Komunis China sejak tahun 2000 telah merubah cara pandang terhadap Tionghoa perantauan, untuk merangkul Tionghoa perantauan sebagai satu kesatuan kebangsaan. Program untuk merangkul Tionghoa perantauan dirumuskan oleh politbiro dan Komite Pusat Partai Komunis China. Dalam penanganan Cina luar negeri dikenal dengan nama Qiaowu, merupakan operasi besar-besaran yang melibatkan seluruh overseas Chinese di setiap tingkatan masyarakat. Qiaowu bertanggung jawab terhadap mobilisasi etnis Tionghoa untuk menentukan kandidat etnis Tionghoa yang setia kepada RRC, dalam rangka menduduki posisi di parlemen dan jabatan publik di suatu negara.
Mobilisasi Tionghoa perantauan dalam rangka mendukung grand strategi dirumuskan dalam One Belt One Road (OBOR). OBOR adalah manifestasi silent invasion, dari impian Xi Jinping untuk mewujudkan hegemoni Cina, tidak melalui penaklukan militer tetapi melalui dominasi ekonomi. Kecemasan terhadap silent invasion Cina, terjadi di beberapa negara seperti Australia, karena dapat berdampak merusak kedaulatan, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Intelijen negara di Indonesia, mencermati kepentingan nasional menggunakan pendekatan, dalam kerangka menjaga teritorial nasional, stabilitas politik dan integritas sumber daya nasional. Ketiganya mencerminkan asumsi dasar bahwa kerentanan internal adalah pintu masuk bagi ancaman eksternal.
Dalam bahasa operasional, ini berarti defensive intelligence posture dengan fokus pengendalian titik-titik rawan di dalam negeri. Di negara yang mapan, membentuk intelijennya sesuai dengan DNA geopolitiknya. Intelijen bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ia bukan sekadar “mata dan telinga” negara, melainkan organ vital yang menyuplai oksigen bagi pengambilan keputusan strategis. Dalam kerangka ini, intelijen berperan ganda: sebagai pengumpul dan pengolah informasi yang membentuk basis kebijakan, sekaligus sebagai eksekutor kebijakan itu sendiri melalui operasi yang terukur.
Mencermati isu aktual nasional, tentang carut marut penanganan kasus pagar laut ilegal, proyek reklamasi ilegal, dan proyek kereta cepat whoosh bermasalah digarap oleh dukungan modal Cina maupun oligarki etnis Cina yang mengabaikan aspek regulasi dan berpotensi merugikan masyarakat, memperkuat indikasi masifnya campur tangan kekuatan asing ke dalam semua strata kekuasaan pemerintahan. Silent invasion Cina, adalah ancaman faktual yang sedang berlangsung dalam rangka merongrong kewibawaan kekuasaan negara dan hancurnya legitimasi pemerintah. Menghadapi ancaman yang sudah berada di pekarangan rumah sendiri, dibutuhkan kesadaran moral seluruh elemen bangsa dan political will kekuasaan negara untuk memposisikan silent invasion Cina sebagai musuh bersama.*
