Sishankamrata di Era 750 Batalyon Tempur TNI AD
Selamat Ginting
Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (UNAS)
FORUM KEADILAN – Rencana TNI Angkatan Darat (AD) membangun 750 batalyon tempur baru pada periode 2025–2029 menjadi salah satu agenda ambisius pertahanan Indonesia pascareformasi. Langkah ini menimbulkan beragam pertanyaan strategis: apakah ini merupakan upaya memperkuat daya gentar negara di tengah dinamika geopolitik Indo-Pasifik, ataukah justru cermin dari orientasi militer yang mulai meninggalkan semangat dasar Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)?
Akar Filosofis Pertahanan Nasional
Konsep Sishankamrata, yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menegaskan bahwa pertahanan nasional adalah pertahanan semesta, melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional secara total, terpadu, berlanjut, dan berkesinambungan. Inti dari sistem ini bukan hanya pada kekuatan militer formal, melainkan pada sinergi antara TNI, Polri, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil sebagai basis daya tangkal nasional.
Dalam kerangka tersebut, TNI dan Polri berperan sebagai komponen utama, sedangkan rakyat adalah komponen cadangan dan pendukung. Sishankamrata lahir dari kesadaran bahwa pertahanan Indonesia dengan geografis kepulauan dan ancaman non-konvensional, tidak bisa diserahkan semata pada jumlah pasukan reguler.
Politik Pertahanan
Rencana membangun 750 batalyon tempur patut dibaca secara politik. Dalam konteks global, Indonesia berada di tengah kompetisi strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik. Penguatan postur TNI AD dapat dimaknai sebagai pesan politik luar negeri bahwa Indonesia tidak ingin menjadi titik lemah dalam peta pertahanan kawasan.
Namun, secara internal, pembangunan batalyon dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan dua konsekuensi politik. Pertama: Reorientasi anggaran pertahanan. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang besar untuk pembentukan batalyon dapat menggeser prioritas pembangunan non-militer, seperti kesejahteraan veteran, modernisasi logistik, dan teknologi pertahanan.
Kedua: Risiko politisasi TNI di daerah. Semakin banyak batalyon berarti semakin luas kehadiran TNI di tingkat lokal. Ini menuntut disiplin politik militer yang kuat agar tidak terjadi tumpang tindih peran dengan pemerintah sipil.
Dengan kata lain, penguatan kuantitatif TNI harus dibarengi dengan konsolidasi normatif dan struktural, agar tidak bergeser menjadi militerisasi di ruang sipil.
Kuantitas vs Kualitas
Dari sudut pandang militer, pembentukan 750 batalyon tentu meningkatkan daya jangkau dan mobilitas taktis TNI AD, terutama di wilayah perbatasan dan daerah rawan konflik. Namun, peningkatan kuantitas tanpa modernisasi alutsista, sistem komando digital, dan profesionalisme prajurit dapat menimbulkan “kelebihan beban” dalam sistem pertahanan.
Konsep Sishankamrata jelas menuntut efisiensi dan interoperabilitas, bukan sekadar penambahan unit. Tantangannya bukan hanya membentuk batalyon, tetapi membangun sistem pelatihan, logistik, dan doktrin yang adaptif dengan ancaman siber, hibrida, dan asimetris yang kini mendominasi lanskap global. Sementara pembangunan satuan zeni nubika masih sebatas detasemen, belum setingkat batalyon. Padahal perang nubika nyata di depan mata. Sejumlah Detasemen Zipur bisa ditingkatkan menjadi Yonzi Nubika. Begitu juga menghadapi perang elektronika, TNI AD baru memiliki satu Batalyon Komunikasi Elektronika. Jelas tidak memadai. Setidaknya Detasemen Komlek di Kostrad bisa dinaikkan statusnya menjadi Yonkomlek, bukan lagi Denkomlek.
Reaktualisasi Sishankamrata
Dalam konteks pembangunan kekuatan darat, semangat Sishankamrata seharusnya dimaknai bukan dengan memperbanyak pasukan reguler, tetapi dengan memperkuat integrasi antara TNI dan masyarakat. Program seperti Komponen Cadangan (Komcad), pendidikan bela negara, dan pembinaan teritorial modern perlu ditingkatkan agar masyarakat menjadi mitra strategis pertahanan, bukan sekadar penonton.
Sishankamrata yang relevan di abad ke-21 adalah sistem yang berbasis teknologi, partisipatif, dan resilien, bukan semata-mata berbasis jumlah personel bersenjata. Tantangan pertahanan masa kini tidak lagi hanya soal invasi fisik, tetapi juga ancaman disinformasi, sabotase digital, dan krisis sumber daya.
Penutup
Rencana pembangunan 750 batalyon tempur TNI AD patut diapresiasi sebagai bentuk keseriusan negara dalam menjaga kedaulatan. Namun, langkah ini harus ditempatkan dalam kerangka besar pertahanan semesta yang demokratis dan berkelanjutan.
Tanpa penguatan koordinasi antara TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil, pembangunan batalyon hanya akan menjadi ekspansi struktural tanpa fondasi sosial. Sishankamrata bukan sekadar sistem pertahanan, melainkan cermin filosofi bangsa: bahwa keamanan nasional adalah urusan bersama.*
