Kamis, 06 November 2025
Menu

Pledoi Djuyamto, 85 Persen Uang Suap Migor Dipakai untuk Kegiatan Agama

Redaksi
Djuyamto (DJU) selaku ketua Majelis Hakim menjadi tersangka setelah diduga menerima suap sebanyak total Rp60 miliar di kasus vonis lepas pada perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng. | Ist
Djuyamto (DJU) selaku ketua Majelis Hakim menjadi tersangka setelah diduga menerima suap sebanyak total Rp60 miliar di kasus vonis lepas pada perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng. | IstDjuyamto (DJU) selaku ketua Majelis Hakim menjadi tersangka setelah diduga menerima suap sebanyak total Rp60 miliar di kasus vonis lepas pada perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng. | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Hakim non aktif Djuyamto membacakan nota pembelaan atau pledoi dari kasus suap vonis lepas crude palm oil (CPO) alias minyak goreng. Dalam pledoinya, ia menyebut 85 persen uang suap yang diterimanya dipakai untuk kegiatan agama dan seni budaya.

Hal itu ia ungkapkan saat membacakan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu, 5/11/2025.

“Penggunaan uang yang diterima terdakwa tersebut hampir 85 persen dari seluruh jumlah uang yang diterima terdakwa dari saksi Muh Arif Nuryanta dipakai terdakwa untuk membantu/support kegiatan keagamaan atau seni budaya, bukan untuk kepentingan pribadi terdakwa,” katanya di ruang sidang.

Ia mengklaim bahwa uang suap tersebut tidak digunakan oleh dirinya untuk membeli aset dan barang mewah lainnya. Melainkan, untuk pembangunan kantor Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kartasura.

“Sebagai Ketua Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah dan Pembangunan Kantor MWC NU Kartasura mempunyai beban moral yang berat terkait dengan terpenuhinya target program kerja panitia,” katanya.

Ia lantas membeberkan penggunaan uang yang dirinya terima dari eks Ketua PN Jakpus Muhammad Arif Nuryanta di antaranya ialah untuk pengadaan tanah kantor MWC NU Kartasura sejumlah Rp5.650.000.000 (miliar).

Selain itu, kata Djuyamto, uang suap tersebut digunakan untuk biaya pembuatan wayang kulit Babad Kartasura, biaya launching Wayang Babad Kartasura, dan biaya penyelenggaraan empat kali pagelaran Wayang Babad Kartasura.

“Termasuk memahari puluhan keris pusaka sebagai upaya melestarikan benda cagar budaya sejumlah kurang lebih Rp1.500.000.000 (miliar),” katanya.

Selain itu, Djuyamto juga mengatakan jumlah penerimaan dalam surat dakwaan tidak benar. Penerimaan pertama yang dia terima sebesar Rp1.270.000.000 dan penerimaan kedua sebesar Rp6.700.000.000.

“Sehingga jumlah penerimaan oleh terdakwa versi surat dakwaan sejumlah Rp9.500.000.000 adalah tidak benar. Penghitungan jumlah penerimaan oleh terdakwa versi jaksa penuntut umum tersebut didasarkan atas asumsi yang tidak berdasarkan fakta nyata di persidangan,” katanya.

Sebelumnya, Djuyamto dan dua hakim tindak pidana korupsi yang menjatuhkan vonis lepas (ontslag) dalam kasus ekspor CPO alias minyak goreng dituntut selama 12 tahun pidana penjara.

Adapun ketiga hakim tersebut ialah Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom. Di samping itu, Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara (Jakut) juga dituntut selama 12 tahun penjara.

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agun (JPU Kejagung) meyakini bahwa para Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

Disamping pidana penjara, jaksa juga menjatuhkan pidana denda terhadap para Terdakwa sebanyak Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara untuk pidana tambahan berupa uang pengganti dengan hukuman berbeda.

Untuk hakim non aktif Djuyamto, terdapat pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp9,5 miliar. Sementara untuk dua anggota majelis hakim yang Agam dan Ali, keduanya harus membayar uang pengganti sebesar Rp6,2 miliar.  Sedangkan untuk Wahyu Gunawan, dirinya harus membayar uang pengganti sebesar Rp2,4 miliar.

Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar setelah satu bulan putusan inkrah, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Apabila para terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama lima tahun.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi