Kamis, 30 Oktober 2025
Menu

MK Putuskan Pimpinan AKD Harus Penuhi Kuota Keterwakilan Perempuan 30 Persen

Redaksi
Gedung DPR/MPR RI | Ist
Gedung DPR/MPR RI | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) harus memuat kuota keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Mahkamah menilai bahwa pemenuhan kuota tersebut memberikan perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam pembentukan undang-undang.

Adapun Mahkamah mengabulkan permohonan Nomor 169/PUU-XXII/2025 yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kalyanamitra, dan Pakar Hukum Kepemilan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini.

Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 90 ayat 2, Pasal 96 ayat 2, Pasal 108 ayat 3, Pasal 120 ayat  1, Pasal 151 ayat 2, dan Pasal 157 ayat 1 dan Pasal 427E ayat 1 huruf b UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Mereka meminta Mahkamah agar memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen, baik dalam kepemimpinan maupun distribusi keanggotaan fraksi di AKD.

“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di ruang sidang, Kamis, 30/10/2025.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa permohonan para Pemohon telah sesuai dengan semangat putusan-putusan MK sebelumnya yang memuat keterwakilan pemenuhan kuota perempuan minimal 30 persen dalam kepengurusan partai politik dan juga penyusunan calon anggota legislatif pada semua tingkatan pemilu.

Menurut Mahkamah, dengan penambahan frasa baru tersebut, politik hukum di balik penentuan kuota perempuan seharusnya berubah menjadi aksi politik nyata bagi semua partai politik di DPR.

“Sebagai kelanjutan dari upaya pemenuhan kuota perempuan dalam pengisian pengurus partai politik dan puluhan jumlah calon dalam pemilihan umum, jumlah perempuan yang berimbang juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, terutama AKD,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Untuk itu, pengaturan distribusi anggota DPR perempuan dinilai penting untuk mengembangkan dan merasakan jumlah anggota DPR perempuan pada masing-masing fraksi. Apalagi, kata MK, kehadiran perempuan pada setiap alat kelengkapan dewan akan menginsentif perempuan dalam memberikan sumbangsih pemikiran dengan perspektif perempuan.

MK menilai bahwa pemenuhan kuota perempuan harus dilihat sebagai agenda penguatan keterwakilan perempuan dalam politik hukum nasional. Pemenuhan keterwakilan perempuan yang berimbang dalam setiap AKD juga akan membantu senator perempuan untuk memperjuangkan hak mereka.

“Berkenaan dengan hal ini, menjadi penting untuk dilakukan penataan dari hulu hingga hilir, mulai dari proses rekrutmen calon anggota legislatif yang diupayakan memiliki keterkaitan dengan kapasitas yang dibutuhkan dalam AKD,” kata Saldi.

MK Perintahkan Bentuk Aturan Internal

Mahkamah menyoroti fakta soal minimnya perempuan pada masing-masigg komisi di DPR. Apalagi, mayoritas dari mereka ditempatkan di komisi bidang sosial, perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan.

Dalam permohonan para Pemohon, mereka menyoroti minimnya kuota keterwakilan perempuan yang hanya mencapai 20 persen saja.

Dari sebanyak total 21 AKD, jumlah perempuan dalam pimpinan AKD hanya berada di Badan Musyawarah (1 orang), Komisi III (1 orang) Komisi IV (1 orang), Komisi VI (1 orang), Komisi VII (3 orang), Komisi IX (3 orang), Komisi X (3 orang), Komisi XII (1 orang), Komisi XIII (1 orang).

Selain itu di Badan Kerja Sama Antar Parlemen (1 orang), Badan Urusan Rumah Tangga (3 orang), dan Badan Aspirasi Masyarakat (2 orang). Dengan demikian, dari total 105 pimpinan, hanya 21 orang di antaranya yang merupakan perempuan.

Untuk itu, dalam pertimbangannya, Mahkamah lantas meminta kepada lembaga legislatif untuk melakukan dua praktik agar memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen yaitu dengan cara menerapkan internal aturan yang tegas, seperti Tata Tertib DPR, di mana masing-masing fraksi harus menugaskan anggota perempuan dalam AKD sesuai dengan kapasitasnya.

MK juga menilai bahwa fraksi di DPR menjadi kunci penting untuk pemenuhan kuota tersebut. Apalagi, anggota AKD dipilih langsung oleh masing-masing fraksi. Untuk itu, MK menilai bahwa para fraksi harus membuat kebijakan internal yang mendorong penguatan gender perempuan.

“Dalam konteks ini, untuk menempatkan anggota di AKD, fraksi harus memperhatikan keseimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap komisi,” kata Saldi.

Sedangkan mekanisme kedua, yakni fraksi, diminta untuk mengatur rotasi dan distribusi yang adil yang tidak hanya menempatkan perempuan di bidang sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga bidang ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya.

“Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga memiliki peranan penting untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap komposisi AKD, serta memberikan rekomendasi penyesuaian jika terdapat ketimpangan gender antar-fraksi atau antar-komisi,” katanya.

Untuk itu, Mahkamah menegaskan bahwa aturan terkait Alat Kelengkapan Dewan yang meliputi anggota Badan Musyawarah, anggota komisi, anggota Badan Legislasi, anggota Badan Anggaran, anggota BKSAP, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, anggota BURT, dan anggota panitia khusus harus memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi.

Siapa pun Bisa Ajukan Diri jadi Pimpinan AKD

Mahkamah menilai bahwa siapa pun anggota dewan bisa mengajukan diri untuk menjadi pimpinan AKD dengan prinsip musyawarah mufakat. MK menilai bahwa keberadaan perempuan yang seimbang dalam memberikan perspektif kesetaraan dalam pembuatan kebijakan.

“Eksistensi keterwakilan perempuan secara proporsional dalam pimpinan AKD justru membawa perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembuatan kebijakan oleh pembentuk undang-undang,” katanya.

Menurut Mahkamah, jika pengisian pimpinan AKD dilakukan dalam satu paket berdasarkan usulan fraksi dengan musyawarah mufakat, tanpa memenuhi kuota perempuan 30 persen, maka hal tersebut semakin terabaikan.

Untuk itu, MK menyebut bahwa anggota AKD dapat mengajukan diri sebagai pimpinan AKD yang terpilih dengan prinsip musyawarah mufakat.

“Apabila hasil musyawarah mufakat justru tidak memilih perempuan, dapat menimbulkan peluang adanya kondisi perempuan yang didominasi oleh laki-laki,” kata Saldi.

Oleh karena itu, dalam putusannya, MK menyatakan bahwa norma Pasal 90 ayat 2, Pasal 96 ayat 2, Pasal 108 ayat 3, Pasal 120 ayat 1, Pasal 151 ayat 2, dan Pasal 157 ayat 1 harus memuat ketentuan terkait ‘keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap fraksi dan alat kelengkapan dewan’.

Selain itu, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 427E ayat 1 huruf b UU MD3 dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, ‘pimpinan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 4 (empat) orang wakil ketua, yang ditetapkan dari dan oleh anggota komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen’.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi