Kamis, 01 Januari 2026
Menu

TNI, Bencana, dan Ujian Kapasitas Negara

Redaksi
Dandim 0211/TT bagikan Logistik ke Desa Terisolir di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara | Instagram @puspentni
Dandim 0211/TT bagikan Logistik ke Desa Terisolir di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara | Instagram @puspentni
Bagikan:

Selamat Ginting

 

Pengamat Politik dan Pertahanan Keamanan dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta

 

FORUM KEADILAN – Bencana alam besar yang melanda 52 kabupaten dan kota di tiga provinsi di Sumatera, bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Dengan korban meninggal mencapai lebih dari seribu jiwa dan ratusan ribu warga mengungsi, peristiwa ini sekaligus menjadi ujian kapasitas negara dalam melindungi rakyatnya. Di titik inilah peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menjadi sorotan.

Kehadiran Negara

Pengerahan hampir 38 ribu personel TNI, lengkap dengan satuan zeni (lima batalyon), satuan infanteri teritorial pembangunan (10 batalyon), serta dukungan alutsista lintas matra, menunjukkan skala respons negara yang luar biasa. TNI tidak hanya hadir dalam fase tanggap darurat, tetapi juga aktif dalam tahap rekonstruksi dan rehabilitasi—mulai dari pembangunan jembatan, hunian sementara dan tetap, hingga pemulihan fasilitas publik dan layanan trauma healing.

Dari sudut pandang politik negara, langkah ini mencerminkan kehadiran negara yang nyata di tengah krisis.

Dalam situasi bencana berskala besar, absennya negara dapat memicu ketidakpercayaan publik, keresahan sosial, bahkan instabilitas politik. Kehadiran TNI menjadi simbol sekaligus instrumen bahwa negara masih berfungsi dan bertanggung jawab atas keselamatan warganya.

Lebih jauh, keterlibatan TNI dalam penanganan bencana ini tetap berada dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Artinya, TNI bertindak sebagai alat negara, bukan aktor politik. Ini penting untuk menjaga keseimbangan hubungan sipil–militer, sekaligus menegaskan bahwa peran TNI dalam ranah kemanusiaan adalah mandat konstitusional, bukan bentuk militerisasi urusan sipil.

Dari perspektif pertahanan dan keamanan, bencana alam adalah ancaman non-militer yang dampaknya bisa sama seriusnya dengan ancaman tradisional. Pengungsian massal, rusaknya infrastruktur, terputusnya jalur distribusi, dan kelangkaan kebutuhan dasar berpotensi menciptakan kerawanan keamanan. Tanpa kehadiran aparat negara yang kuat, kekosongan keamanan (security vacuum) dapat muncul dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak.

Bukti Kesiapsiagaan Nasional

Pengerahan satuan zeni untuk membangun jembatan bailey dan aramco, distribusi logistik ribuan ton melalui udara, laut, dan darat, serta pengoperasian dapur lapangan dan pos kesehatan memperlihatkan bahwa TNI memiliki kapasitas mobilisasi cepat dan operasi gabungan lintas matra. Ini bukan hanya respons kemanusiaan, tetapi juga bukti kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi krisis multidimensi.

Namun demikian, peran dominan TNI dalam penanganan bencana juga menyimpan catatan penting. Ketergantungan besar pada TNI menandakan bahwa kapasitas sipil, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih perlu diperkuat. Idealnya, TNI berperan sebagai kekuatan pendukung terakhir (last resort), sementara institusi sipil memiliki kemampuan utama dalam mitigasi dan respons bencana.

Ke depan, evaluasi kebijakan mitigasi bencana, tata ruang, dan penguatan lembaga penanggulangan bencana harus menjadi agenda politik nasional. Tanpa perbaikan struktural, negara akan terus mengandalkan TNI sebagai penyangga utama setiap kali bencana besar terjadi.

Penutup

Pada akhirnya, keterlibatan TNI dalam bencana Sumatera ini memperlihatkan dua hal sekaligus: kekuatan negara dalam merespons krisis, dan pekerjaan rumah besar dalam membangun ketahanan nasional yang lebih seimbang. TNI telah menjalankan tugasnya dengan optimal. Kini, tanggung jawab politik berada pada negara untuk memastikan bahwa kehadiran tersebut bukan sekadar respons darurat, melainkan bagian dari strategi jangka panjang melindungi rakyat dan menjaga stabilitas nasional.*