Senin, 29 Desember 2025
Menu

Simbol Separatis di Tengah Bencana: Ujian Kewibawaan Negara dan Kedewasaan Perdamaian Aceh

Redaksi
Pengibaran bendera yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 25-26 Desember 2025 | Ist
Pengibaran bendera yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 25-26 Desember 2025 | Ist
Bagikan:

Selamat Ginting

 

Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (UNAS)

 

FORUM KEADILAN – Bencana alam semestinya menjadi momentum solidaritas nasional. Negara hadir, aparat bekerja, dan masyarakat bergotong royong membantu korban. Namun ketika di tengah situasi kemanusiaan justru muncul pengibaran bendera yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 25-26 Desember 2025, disertai teriakan “merdeka”, maka persoalannya tidak lagi semata soal bantuan bencana. Melainkan menyentuh dimensi kedaulatan dan stabilitas nasional dan itu menjadi tugas TNI seperti diperintahkan konstitusi UUD 1945.

Peristiwa ini perlu dibaca secara jernih dan tidak emosional, agar negara tidak terjebak pada dua ekstrem: membiarkan simbol separatis dinormalisasi, atau sebaliknya bertindak berlebihan hingga merusak perdamaian Aceh yang telah dibangun susah payah sejak Perjanjian Helsinki 2005?

Simbol Bukan Sekadar Ekspresi Budaya

Bendera bulan bintang yang dikibarkan pada 25-26 Desember 2025, bukan simbol adat atau kebudayaan Aceh. Ia memiliki makna politik yang jelas dan historis sebagai lambang gerakan separatis bersenjata.

Oleh karena itu, sulit membaca aksi tersebut sebagai ekspresi kultural murni. Terlebih, momentum bencana memberi kesan bahwa penderitaan rakyat sedang dimanfaatkan untuk menyelipkan agenda politik tertentu.

Hal ini bukan berarti seluruh masyarakat Aceh bersikap separatis. Justru sebaliknya, mayoritas rakyat Aceh telah memilih jalan damai dan hidup dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun pengalaman konflik mengajarkan bahwa sekelompok kecil aktor dengan simbol dan narasi yang tepat dapat membesar jika negara lengah atau salah langkah.

Antara Keresahan Riil dan Penunggang Kepentingan

Tidak dapat dipungkiri, keresahan warga terhadap penanganan bencana bisa saja nyata: soal kecepatan bantuan, koordinasi, atau transparansi. Aspirasi semacam ini sah-sah saja dalam negara demokratis. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia berdasarkan jumlah penduduk, setelah India dan Amerika Serikat, dengan populasi besar yang berpartisipasi dalam pemilihan umum langsung.  Meskipun kualitas demokrasinya bervariasi, tergantung indeks evaluasinya.

Desakan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional atau membuka bantuan asing, juga bukan hal yang terlarang, selama disampaikan melalui mekanisme konstitusional. Berbeda pendapat boleh saja dan keputusan pemerintah pun mesti dihormati. Karena pemerintah yang akan bertanggung jawab dengan kebijaksanaannya.

Masalah muncul ketika tuntutan kemanusiaan itu dibungkus dengan simbol separatis. Di titik inilah terlihat adanya potensi penunggang kepentingan politik. Ada aktor politik yang memanfaatkan krisis untuk membangun narasi “pusat lalai, Aceh harus berdiri sendiri”. Pola semacam ini bukan hal baru dalam sejarah konflik Aceh maupun konflik internal di berbagai belahan dunia.

Ketegasan Aparat Perlu, tapi Harus Terukur

Sikap tegas aparat, termasuk TNI dari Kodam Iskandar Muda dan Polri dari Polda Aceh dalam menghentikan pengibaran bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan teriakan merdeka, tepat secara hukum dan konstitusional. Negara tidak boleh membiarkan simbol separatis dinormalisasi, apalagi di ruang publik.

Namun ketegasan harus disertai pengendalian diri dan sensitivitas sosial. Aparat harus memastikan bahwa tindakan di lapangan tidak melukai korban bencana, tidak represif, dan tidak menciptakan kesan bahwa negara memusuhi masyarakat Aceh. Garisnya harus jelas: yang ditindak adalah simbol dan provokasi, bukan penderitaan rakyat atau kritik terhadap pemerintah.

Begitu pun pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang mendukung penindakan tegas terhadap kelompok yang memecah belah bangsa pada prinsipnya diperlukan sebagai penegasan “garis merah” NKRI. Separatisme adalah harga mati bagi militer di seluruh dunia, bukan cuma TNI saja. Tetapi pesan  Panglima TNI ini harus diimbangi komunikasi publik yang empatik, agar tidak ditafsirkan sebagai ancaman terhadap kebebasan sipil atau aspirasi kemanusiaan. Tugas aparat informasi dan komunikasi (Infokom) TNI atau Pusat Penerangan TNI untuk menjelaskan lebih detail kebijakan Mabes TNI kepada publik.

Bahaya Jangka Panjang Jika Salah Kelola

Memang ada yang berpendapat respons aparat dinilai berlebihan akan berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang, yakni bangkitnya kembali memori konflik, tumbuhnya narasi ketidakadilan, dan terbukanya ruang bagi elite lokal atau aktor luar untuk menghidupkan kembali romantisme separatisme.

Namun perlu dipahami, separatisme modern tidak selalu lahir dari senjata, tetapi dari akumulasi simbol, narasi, dan kekecewaan yang dibiarkan tanpa klarifikasi. Sebaliknya, jika negara terlihat ragu dan membiarkan simbol separatis muncul berulang kali, kewibawaan negara akan terkikis secara perlahan.

Penutup

Ke depan, ada beberapa langkah yang perlu dikedepankan. Pertama, pengelolaan komunikasi publik yang satu suara antara pemerintah pusat, pemerintah Aceh, dan aparat keamanan.

Kedua, respons cepat dan transparan dalam penanganan bencana, agar ruang politisasi penderitaan rakyat tertutup.

Ketiga, sikap tegas pemerintah Aceh sendiri untuk tidak ambigu terhadap simbol-simbol GAM, sekaligus membela martabat Aceh dalam kerangka NKRI.

Perdamaian Aceh adalah aset nasional. Menjaganya membutuhkan ketegasan negara, kedewasaan elite, dan kehadiran pemerintah yang adil serta empatik. Bencana seharusnya menyatukan, bukan membuka kembali luka lama.

Negara diuji bukan pada saat damai, tetapi ketika krisis datang bersamaan dengan provokasi. Dan di situlah, ketenangan serta kebijaksanaan menjadi kunci.*