Selasa, 23 Desember 2025
Menu

Saksi Sebut Kapal Anak Riza Chalid Hanya Angkut 2 Kali Minyak Domestik di 2023

Redaksi
Saksi sidang Pertamina saat mengucapkan sumpah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, 23/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Saksi sidang Pertamina saat mengucapkan sumpah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, 23/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Eks Vice President Crude and Gas Operation (CGO) PT Pertamina International Shipping (PT PIS) Harris Abdi Sembiring menyebut bahwa kapal milk PT Jenggala Maritim Nusantara (JMN) milik Muhammad Kerry Adrianto Riza hanya dua kali mengangkut minyak domestik di tahun 2023.

Hal itu ia sampaikan saat dihadirkan sebagai saksi di sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina.

Mulanya, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung (JPU Kejagung) menanyakan terkait data frekuensi penggunaan kapal Jenggala Nassim (Suezmax) dalam pengangkutan minyak di domestik dan internasional sejak tahun 2023 sampai 2025.

“Jadi untuk 2023 itu dua kali digunakan untuk angkutan domestik, Pak, setelah itu dia mengambil ke luar (internasional),” jawabnya di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa, 23/12/2025.

Haris menambahkan, kapal Jenggala Nassim diikat dengan skema kontrak time charter selama tiga tahun dengan opsi perpanjangan satu tahun ditambah satu tahun.

“Berarti selama lima tahun itu hanya digunakan untuk mengangkut kebutuhan minyak domestik hanya dua kali?” tanya jaksa yang dibenarkan oleh saksi.

Ketika ditanya penuntut umum mengenai jumlah penggunaan untuk pengangkutan internasional, Haris mengaku tidak lagi mengingat secara rinci karena sudah melewati periode tugasnya. Namun, ia menyebut bahwa pada akhir 2023, kapal tersebut sempat mengangkut satu kargo internasional.

JPU kemudian menyoroti kapasitas muatan kapal tersebut dalam dua kali pengangkutan domestik itu. Haris menjelaskan, Jenggala Nasim memiliki kapasitas hingga sekitar 900 ribu barel minyak. Untuk pengangkutan domestik pertama, kapal memuat sekitar 450 ribu barel, sementara pengangkutan kedua mencapai kapasitas penuh sekitar 950 ribu barel.

Menurut Haris, pada volume muatan sekitar 400 ribu hingga 600 ribu barel, sebenarnya masih memungkinkan menggunakan kapal tipe Aframax. Namun, pada saat itu, perusahaan mengalami kekurangan armada.

“Tapi seperti yang saya sampaikan tadi kita shortage atau kekurangan pak tiga kapal Aframax pada saat itu pak,” ujarnya.

Kondisi keterbatasan armada tersebut, kata dia, menjadi salah satu faktor penggunaan kapal Jenggala Nasim untuk memenuhi kebutuhan pengangkutan minyak domestik pada periode tersebut.

Dalam surat dakwaan, jaksa merinci sejumlah perbuatan yang dinilai merugikan negara, salah satunya terkait kerja sama penyewaan terminal BBM Merak antara perusahaan terafiliasi dengan Kerry, yakni PT Jenggala Maritim dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak (OTM) Gading Ramadhan Joedo.

Jaksa menyebut bahwa ketiga perusahan tersebut meneken kerja sama penyewaan terminal BBM Merak dengan PT Pertamina Patra Niaga. Padahal, saat itu Pertamina belum membutuhkan terminal BBM tambahan.

Jaksa mengungkap, nilai kerugian dari kerja sama penyewaan tersebut mencapai Rp2,9 triliun. Selain itu, aset terminal BBM Merak justru tercatat sebagai milik PT OTM, bukan menjadi aset Pertamina.

Tak hanya itu, jaksa juga menyoroti kerugian negara dari ekspor dan impor minyak mentah yang dilakukan dengan prosedur bermasalah. Nilai kerugian akibat ekspor minyak mentah diperkirakan mencapai US$1.819.086.068,47, sementara dari impor minyak mentah sekitar US$570.267.741,36.

Lebih lanjut, jaksa menyebut adanya kerugian perekonomian negara senilai Rp171.997.835.294.293,00 akibat harga pengadaan BBM yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban ekonomi tambahan. Selain itu, terdapat keuntungan ilegal sebesar US$2.617.683,34 yang berasal dari selisih harga antara impor BBM melebihi kuota dan pembelian BBM dari dalam negeri.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi