Jumat, 19 Desember 2025
Menu

Amnesty Kritik Pemerintah Tak Tetapkan Banjir Bandang Sumatra sebagai Bencana Nasional

Redaksi
Kondisi banjir yang dipicu hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara sejak Minggu, 23/11/2025. | Dok BPBD Kabupaten Aceh Tenggara
Kondisi banjir yang dipicu hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara sejak Minggu, 23/11/2025. | Dok BPBD Kabupaten Aceh Tenggara
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Amnesty International Indonesia mengkritik pemerintah pusat yang hingga kini belum menetapkan banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional.

Juru Bicara Amnesty International Indonesia Haeril Halim menilai, penetapan status bencana nasional sangat penting karena memiliki konsekuensi hukum dan politik yang mengikat seluruh elemen pemerintah untuk bergerak cepat dan menyeluruh dalam penanganan bencana.

“Status bencana nasional memastikan penanganan yang cepat dan menyeluruh. Secara hukum, itu mengikat seluruh elemen pemerintah untuk bertindak cepat, melakukan pemetaan, dan menyisir wilayah-wilayah yang masih terisolasi,” ujar Haeril kepada Forum Keadilan, Jumat, 19/12/2025.

Menurut Haeril, meskipun pemerintah menyatakan penanganan bencana saat ini bersifat nasional, hal tersebut berbeda dengan penetapan status bencana nasional secara resmi. Tanpa status tersebut, keseriusan penanganan berpotensi menurun seiring waktu.

“Mungkin satu atau dua hari penanganannya cepat. Tapi tanpa status darurat nasional, bisa saja minggu depan tidak lagi ditangani dengan keseriusan yang sama,” kata dia.

Haeril juga mempertanyakan keengganan pemerintah menetapkan status bencana nasional. Ia menduga ada pertimbangan anggaran di tengah kebijakan efisiensi belanja negara.

“Kita bertanya, apakah pemerintah tidak memiliki cukup dana? Apakah efisiensi anggaran untuk program-program populis berdampak pada penanganan bencana ini?” ujarnya.

Selain soal anggaran, Amnesty menilai, penetapan bencana nasional akan memandatkan pemerintah untuk melakukan audit lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga berkontribusi pada kerusakan ekologis yang memperparah dampak bencana di wilayah Sumatra.

“Dengan status nasional, ada dorongan politik untuk melakukan audit lingkungan dan investigasi terhadap izin-izin perusahaan yang beroperasi di wilayah terdampak,” kata Haeril.

Ia bahkan mempertanyakan apakah ada pihak tertentu yang dilindungi sehingga pemerintah enggan menaikkan status bencana tersebut.

“Ketika status nasional ditetapkan, pasti ada investigasi menyeluruh terhadap pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab. Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah ada yang dilindungi?” ujarnya.

Haeril juga mengkritik narasi anti-asing yang kerap digunakan pemerintah dalam konteks penanganan bencana. Menurut dia, narasi tersebut tidak konsisten karena di sisi lain pemerintah tetap membuka pintu bagi investasi asing yang justru merusak lingkungan.

“Investor asing yang merusak lingkungan diterima, tapi ketika komunitas internasional ingin membantu korban bencana, justru pintunya ditutup. Asing yang mana sebenarnya yang ditakuti?” kata dia.

Padahal, kata Haeril, penetapan status bencana nasional juga membuka peluang keterlibatan komunitas internasional dalam penanganan bencana, termasuk bantuan peralatan canggih untuk pencarian dan penyelamatan korban.

“Ini bukan bencana kecil. Hampir seribu orang meninggal, ratusan masih hilang. Kedaulatan tidak boleh hanya dimaknai sebagai wilayah teritorial,” ujarnya.

Menurut Amnesty, kedaulatan tertinggi suatu negara adalah keselamatan manusia. Jika negara gagal melindungi warganya, maka kedaulatan itu sendiri dipertaruhkan.

“Hak asasi manusia memandatkan bahwa perlindungan korban bencana adalah tugas utama pemerintah. Ketika nyawa manusia tidak terselamatkan, di situlah kedaulatan negara runtuh,” kata Haeril.

Amnesty pun mendesak pemerintah untuk meninjau ulang keputusannya dan segera menetapkan status bencana nasional demi memastikan perlindungan maksimal bagi para korban.

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, serta Sumatra Barat menjadi 1.068 orang, hingga Kamis, 18/12.

“Jumlah total korban jiwa, meninggal dunia dari 1.059 jiwa, menjadi 1.068 jiwa,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam konferensi pers secara daring, Kamis, 18/12.

Adapun rincian korban meninggal yakni, sebanyak 456 orang di Aceh, 366 orang di Sumatra Utara, dan 246 di Sumatra Barat.*

Laporan oleh: Muhammad Reza