Pilihan Presiden “Biar Tekor Asal Sohor” di Tengah Krisis Kemanusiaan Bencana Banjir
FORUM KEADILAN – Lebih dari seribu orang meninggal, ratusan ribu mengungsi, dan sebagian wilayah masih terisolasi. Namun pemerintah belum menetapkan banjir besar di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional. Keputusan Presiden Prabowo Subianto ini memantik kritik, karena dinilai mengedepankan sikap “biar tekor asal sohor” di tengah krisis kemanusiaan.
Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild), Makmur Sianipar, menilai Presiden memilih bersikap “biar tekor asal sohor” dengan menolak uluran bantuan luar negeri dan enggan menetapkan status bencana nasional.
“Sikap ini sangat disesalkan, terutama ketika korban masih kesulitan memperoleh bantuan dasar,” kata Makmur kepada FORUM KEADILAN, Kamis, 18/12/2025.
Menurut Makmur, persoalan utama bukan semata pada keputusan Presiden, melainkan pada informasi yang diterima dari para pembantunya. Ia menduga Presiden tidak memperoleh gambaran utuh mengenai kondisi riil di lapangan.
“Dalam konferensi pers dan rapat kabinet, Menteri ESDM dan Direktur Utama PLN melaporkan bahwa 93 persen listrik di wilayah terdampak sudah pulih. Faktanya, berbagai daerah bencana masih gelap gulita, sebagaimana diberitakan banyak media,” ujarnya.
Ia menambahkan, beredar pula di berita dan media sosial yang menunjukkan masih adanya wilayah terisolasi. Warga di beberapa titik dilaporkan harus berjalan kaki menembus hutan untuk mendapatkan bahan makanan.
“Ini menunjukkan adanya jurang antara laporan resmi dan kenyataan di lapangan,” kata Makmur.
Makmur menilai dugaan informasi yang tidak lengkap itulah yang kemudian melatarbelakangi penolakan Presiden untuk menetapkan status bencana nasional. Presiden, dalam pernyataannya, membandingkan jumlah provinsi terdampak dengan total provinsi di Indonesia dan menilai tidak tepat jika bencana tersebut berstatus nasional karena “hanya” melanda tiga provinsi.
Padahal, hingga 16 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban meninggal mencapai 1.053 orang, 200 orang dinyatakan hilang, serta 606.040 warga mengungsi. Sebanyak 25 kabupaten dan kota masih berstatus tanggap darurat.
“Harus berapa korban lagi agar bencana ini ditetapkan sebagai bencana nasional?” ujar Makmur. Ia juga menyoroti fakta bahwa tiga minggu pascabencana, distribusi bantuan belum menjangkau seluruh wilayah terdampak.
Makmur kemudian membandingkan sikap Presiden Prabowo saat ini dengan pernyataannya pada 28 Oktober 2015. Saat itu, Prabowo masih sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan berada di luar pemerintahan, mendesak agar kebakaran hutan dan lahan yang memicu kabut asap ditetapkan sebagai bencana nasional. Alasannya, status tersebut memungkinkan pemerintah menyiapkan alokasi anggaran khusus dan memperkuat penanganan.
“Sangat disayangkan, sikap Prabowo sebelum menjadi Presiden sangat berbeda dengan sikapnya setelah memegang kekuasaan,” kata Makmur.
Menurut dia, dampak banjir Sumatra kali ini jauh lebih besar karena tidak hanya menghanyutkan harta benda, tetapi juga merenggut lebih dari seribu nyawa dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi.
“Secara normatif, UU Nomor 24 Tahun 2007 dan PP Nomor 21 Tahun 2008 sudah sangat jelas mengatur kriteria bencana nasional, dan kasus ini memenuhi syarat,” ujarnya.
“Tongkat Nabi Musa” dan Kepemimpinan
Makmur juga menanggapi pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut dirinya tidak memiliki “Tongkat Nabi Musa” untuk menyelesaikan persoalan dengan cepat. Ia tidak sependapat dengan pernyataan tersebut.
“Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden justru memiliki kekuasaan yang tak kalah ‘sakti’ dengan ‘tongkat Nabi Musa’ melalui kewenangan konstitusionalnya,” kata Makmur.
Ia menilai Presiden dapat mengerahkan seluruh sumber daya negara, termasuk pasukan elit TNI dan Polri, untuk menjangkau daerah-daerah terisolasi sejak hari pertama bencana.
“Pasukan ini terlatih menghadapi medan berat. Seharusnya mereka diterjunkan secara masif, diantaranya menyiapkan helipad, agar logistik segera sampai ke korban,” ujarnya.
Makmur bahkan menyinggung rencana pengiriman 20 ribu pasukan Indonesia ke Gaza sebagai pembanding komitmen negara dalam misi kemanusiaan.
“Seharusnya untuk membantu korban banjir ini, Presiden dapat mengerahkan lebih banyak, beberapa kali lipatnya, dikerahkan untuk membantu warga negara sendiri” tegas Makmur Sianipar.
Ujian dan Evaluasi Kabinet
Bagi Makmur, banjir besar di Sumatra menjadi ujian serius bagi kepemimpinan Presiden Prabowo. Ia menilai pemerintah terlambat merespons dan cenderung reaktif. Presiden, menurutnya, lebih banyak dalam melakukan kunjungan menerima laporan, ketimbang memastikan efektivitas penanganan di lapangan.
Makmur menduga adanya pembatasan arus informasi dari para menteri kepada Presiden. Salah satu indikatornya adalah pernyataan Kepala BNPB yang menyebut banjir tersebut “hanya ramai di media sosial”.
“Jika laporan yang sampai ke Presiden bersifat mengecilkan masalah, wajar bila respons negara menjadi lambat,” katanya.
Peristiwa ini, lanjut Makmur, menjadi momentum evaluasi kabinet. Ia menilai bencana ini membuka dengan jelas siapa pembantu Presiden yang bekerja sungguh-sungguh dan siapa yang sekadar “asal bapak senang”.
“Presiden bahkan mendengar langsung keluhan warga di Aceh Tamiang yang menyebut menterinya ‘penipu’ karena laporannya tidak sesuai kondisi lapangan,” ujarnya.
Makmur berharap pada awal 2026 Presiden Prabowo berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kabinetnya.
“Sudah saatnya Presiden melepaskan diri dari politik balas budi. Kepentingan rakyat, terutama dalam situasi bencana, harus menjadi ukuran utama. Cukup setahun diberikan kesempatan, bila masih belum menunjukkan kinerja yang baik, Presiden Prabowo harus berani melakukan reshuffle lagi,” ujarnya.
“Sinyalemen Presiden bahwa bencana dijadikan sebagai wisata oleh pembantunya mengindikasikan bahwa Presiden pun sudah mengetahui bagaimana kinerja menterinya yang mengurusi bencana ini,” tutupnya. *
