Jumat, 19 Desember 2025
Menu

MK Ingatkan APH Lebih Cermat Terapkan Unsur Kerugian Negara di Kasus Korupsi

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) mengingatkan kepada aparat penegak hukum (APH) agar lebih berhati-hati dan cermat dalam menerapkan unsur kerugian negara dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada penanganan perkara korupsi.

Hal tersebut tertuang dalam putusan Nomor 142/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (2016-2017) Syahril Japarin, Mantan Pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari, dan Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Para Pemohon meminta agar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor inkonsitusional, namun MK tidak mengabulkannya.

“Mahkamah penting untuk mengingatkan supaya aparat penegak hukum lebih cermat dan lebih hati-hati dalam melakukan tindakan hukum terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan di ruang sidang MK, Rabu, 17/12/2025.

Salah satu yang disoroti Mahkamah ialah terkait perlunya aparat penegak hukum dalam memperhatikan penerapan prinsip business judgement rule, terutama untuk perkara yang berkaitan dengan kebijakan atau keputusan bisnis.

“Termasuk dalam hal ini penerapan prinsip business judgement rule yang beririsan dengan penilaian iktikad baik yang berimpitan dengan hubungan hukum keperdataan,” tambahnya.

Mahkamah menilai, ketelitian tersebut diperlukan oleh Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun Kepolisian untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum.

“Untuk menghindari terjadinya penerapan hukum yang tidak berkepastian dan berkeadilan dalam menyeimbangkan antara hak pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Guntur.

Adapun dalam putusan ini, MK meminta kepada pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengkaji ulang UU Tipikor.

Adapun beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah dan DPR. Pertama, pembentuk UU harus segera mengkaji norma Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor. Selain itu, Pemerintah dan DPR juga harus memprioritaskan revisi tersebut.

“Bilamana revisi atau perbaikan tersebut perlu dilakukan, pembentuk undang-undang harus memperhitungkan secara cermat dan matang agar implikasi revisi atau perbaikan tidak mengurangi politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crime),” kata Guntur.

Mahkamah juga menekankan bahwa rumusan sanksi pidana dalam UU Tipikor perlu disusun dengan kepastian hukum yang lebih jelas untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan.

Terakhir, MK menekankan bahwa proses revisi atau perbaikan UU Tipikor harus melibatkan partisipasi publik.

“Revisi atau perbaikan dimaksud melibatkan partisipasi semua kalangan yang concern atas agenda pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerapkan prinsip partisipasi publik bermakna (meaningful participation),” katanya.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi