Manajemen Komunikasi Krisis Pemerintah dalam Kondisi Darurat: Rapat Kabinet Paripurna Jadi Kunci Penyelarasan Pesan Negara
FORUM KEADILAN – Dalam situasi darurat seperti bencana alam, krisis kesehatan, konflik sosial, hingga ancaman keamanan nasional, pemerintah tidak hanya dituntut mampu mengambil keputusan kebijakan secara cepat dan tepat, tetapi juga harus mengelola komunikasi publik secara efektif, terukur, dan empatik. Komunikasi yang keliru, tidak sinkron, atau minim empati berpotensi memperburuk keadaan, memicu kepanikan, serta menggerus kepercayaan publik terhadap negara.
Hal tersebut disampaikan oleh Selamat Ginting, Pengamat Komunikasi Politik dan Pertahanan Keamanan dari Universitas Nasional (UNAS), Jakarta, dalam pemaparannya bertajuk “Manajemen Komunikasi Krisis Pemerintah dalam Kondisi Darurat: Peran Strategis Rapat Kabinet Paripurna”. Materi itu disampaikan pada Sekolah Politik Masyumi (SPM) Angkatan Pertama, Rabu malam, 17/12/2025.
Menurut Selamat Ginting, manajemen komunikasi krisis merupakan elemen strategis dalam tata kelola pemerintahan modern. Dalam konteks tersebut, rapat kabinet paripurna memegang peran sentral sebagai forum tertinggi penyelarasan kebijakan sekaligus penyatuan pesan nasional (message alignment) sebelum pemerintah menyampaikan informasi kepada publik.
Lima Prinsip Dasar Komunikasi Krisis Pemerintah
Secara normatif, Selamat Ginting menegaskan bahwa komunikasi krisis pemerintah harus berlandaskan lima prinsip utama, yakni cepat, akurat, konsisten, terkoordinasi, dan berorientasi pada kepentingan publik.
“Kecepatan diperlukan untuk mengisi ruang informasi agar tidak dikuasai spekulasi dan disinformasi. Akurasi menjamin informasi dapat dipertanggungjawabkan, sementara konsistensi dan koordinasi mencegah terjadinya kontradiksi antarlembaga,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa orientasi kepentingan publik harus menjadi roh komunikasi krisis. Komunikasi bukanlah alat pencitraan politik, melainkan sarana perlindungan warga negara. Dalam kerangka ini, rapat kabinet paripurna berfungsi sebagai pusat pengambilan keputusan strategis sekaligus ruang penyamaan pesan nasional sebelum komunikasi eksternal dilakukan.
Tahapan Komunikasi Krisis Berdasarkan Crisis Lifecycle Theory
Mengacu pada Crisis Lifecycle Theory yang dikemukakan oleh Steven Fink (1986), Selamat Ginting menjelaskan bahwa komunikasi krisis pemerintah idealnya mengikuti empat fase utama.
Pada tahap prodromal atau pra-krisis, rapat kabinet paripurna berperan penting dalam mengidentifikasi potensi krisis, menyusun skenario terburuk, menentukan juru bicara utama, serta merumuskan pesan kunci dan talking points. Kesepakatan atas satu narasi nasional menjadi krusial untuk membangun kesiapsiagaan publik dan mencegah kepanikan sejak dini.
Memasuki tahap acute crisis, ketika krisis telah berlangsung aktif, rapat kabinet harus difokuskan pada koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Informasi yang disampaikan kepada publik harus bersifat real-time, terverifikasi, dan faktual.
“Tidak boleh ada pernyataan individual pejabat yang saling bertentangan. Hal itu dapat merusak kredibilitas pemerintah dan memperparah krisis kepercayaan,” ujarnya.
Pada tahap chronic stage atau penanganan berkelanjutan, komunikasi pemerintah perlu menyesuaikan dinamika lapangan. Rapat kabinet menjadi forum evaluasi respons publik dan media, serta penyesuaian pesan yang menekankan empati, kehadiran negara, dan solusi konkret. Tujuan utama pada tahap ini adalah pemulihan dan stabilisasi kepercayaan publik.
Sementara itu, pada tahap resolution stage atau pasca-krisis, pemerintah dituntut bersikap transparan mengenai hasil penanganan, menunjukkan akuntabilitas kebijakan, serta menginstitusionalisasikan pembelajaran dari krisis. Komunikasi diarahkan untuk memperkuat legitimasi pemerintah sekaligus meningkatkan literasi publik menghadapi krisis di masa depan.
Menentukan Strategi Lewat Situational Crisis Communication Theory
Selamat Ginting juga mengulas penerapan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan W. Timothy Coombs. Menurut teori ini, strategi komunikasi krisis harus disesuaikan dengan tingkat tanggung jawab organisasi terhadap krisis.
Dalam konteks pemerintahan, rapat kabinet paripurna menjadi arena strategis untuk menentukan framing tanggung jawab sebelum pesan disampaikan ke publik. Jika krisis terjadi di luar kendali pemerintah, strategi yang tepat adalah instructing information dan adjusting information, yakni memberikan panduan praktis dan penjelasan situasional kepada masyarakat.
Namun, apabila krisis sebagian disebabkan oleh kebijakan pemerintah, maka strategi corrective action disertai permintaan maaf terbatas menjadi relevan. Sementara itu, jika krisis sepenuhnya akibat kelalaian pemerintah, maka strategi rebuild trust—meliputi pengakuan kesalahan, permintaan maaf terbuka, serta komitmen perbaikan—menjadi keharusan moral dan politis.
Agenda Setting, Framing, dan Satu Suara Negara
Dalam perspektif Agenda Setting, Selamat Ginting menjelaskan bahwa pemerintah memiliki peran besar dalam menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik. Melalui rapat kabinet paripurna, pemerintah menetapkan prioritas isu serta urutan penyampaiannya agar fokus publik tertuju pada solusi dan langkah penanganan, bukan pada spekulasi atau konflik elite.
Sementara itu, Framing Theory menekankan pentingnya sudut pandang dalam menyampaikan pesan. Pemerintah perlu menyepakati bingkai narasi yang berorientasi pada perlindungan warga, keselamatan publik, dan solidaritas nasional. Bahasa yang terlalu teknokratis harus dihindari agar pesan mudah dipahami masyarakat luas.
Dalam kerangka Integrated Crisis Communication, rapat kabinet paripurna juga harus menghasilkan kebijakan komunikasi satu suara (one voice policy), protokol komunikasi lintas kementerian, serta kesepakatan kanal komunikasi resmi, mulai dari televisi nasional, konferensi pers, hingga media sosial pemerintah.
“Pemerintah adalah satu sistem. Ketidaksinkronan satu subsistem dapat mengganggu keseluruhan sistem komunikasi negara,” katanya, merujuk pada Systems Theory.
Etika dan Empati sebagai Fondasi
Lebih jauh, Selamat Ginting menekankan pentingnya dimensi etika dan empati dalam komunikasi krisis. Berdasarkan Normative Theory of Communication, komunikasi pemerintah harus menjunjung tinggi kejujuran, mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan politik, serta menampilkan empati dalam bahasa dan sikap pejabat negara.
Dengan demikian, rapat kabinet paripurna tidak semata bersifat administratif dan teknokratis, tetapi juga memiliki dimensi moral sebagai ruang refleksi etis atas dampak kebijakan terhadap kehidupan warga negara.
Penegasan Peran Strategis Rapat Kabinet
Menutup paparannya, Selamat Ginting menegaskan bahwa manajemen komunikasi krisis pemerintah bukan sekadar aktivitas penyampaian informasi, melainkan proses strategis dalam mengelola makna, kepercayaan, dan stabilitas sosial.
“Dalam kondisi darurat, rapat kabinet paripurna adalah ruang krusial untuk menyatukan kebijakan dan pesan agar komunikasi publik berlangsung efektif, konsisten, etis, dan menenangkan,” pungkasnya.
Dengan berlandaskan teori-teori komunikasi krisis, pemerintah diharapkan mampu memastikan bahwa kehadiran negara benar-benar dirasakan oleh publik, tidak hanya melalui kebijakan, tetapi juga melalui komunikasi yang bertanggung jawab dan berkeadaban.*
Laporan oleh: Selamat Ginting
