Rabu, 17 Desember 2025
Menu

Buruh Tolak PP Pengupahan Baru, Sebut Akan Rugikan Buruh

Redaksi
Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam Podcast Hanya Disini (PHD 4K) Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, pada Senin, 9/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam Podcast Hanya Disini (PHD 4K) Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, pada Senin, 9/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh menyatakan menolak Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan yang bakal menjadi dasar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Keputusan ini diambil lantaran buruh tidak pernah dilibatkan dalam perumusan PP tersebut.

Adapun Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani PP Pengupahan pada Selasa, 16/12/2025. PP ini akan menjadi acuan penentuan kenaikan UMP tahun 2026.

“Menolak peraturan pemerintah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia terkait dengan pengupahan. Ada beberapa alasan mengapa KSPI dan Buru Indonesia menolak peraturan pemerintah terkait dengan pengupahan tersebut,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers, Rabu, 17/12.

Ia pun menjelaskan alasan buruh menolak PP ini. Ia mengatakan bahwa buruh tidak pernah diajak berdiskusi dalam merumuskan peraturan tersebut. Kemudian, buruh hingga saat ini tidak pernah mengetahui isi dari peraturan pemerintah tersebut.

Buruh, kata dia, hanya dilibatkan satu kali dalam pembahasan yang sifatnya sosialisasi tersebut di Dewan Pengupahan pada 3 November lalu. Pertemuan itu pun hanya berlangsung selama 2 jam.

“Dengan demikian, sampai hari ini, buruh, KSPI termasuk di dalamnya, tidak pernah mengetahui apa isi pasal demi pasal daripada peraturan pemerintah terkait pengupahan tersebut,” ungkap dia.

Alasan berikutnya, yaitu KSPI menilai bahwa PP itu berpotensi merugikan buruh, terutama tentang definisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Hal ini berdasarkan informasi yang diperoleh terbatas dari pemerintah atau pemberitaan di media.

Definisi KHL, tegas Said Iqbal, seharusnya mengacu pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2020. Dalam peraturan tersebut ditetapkan 64 komponen KHL, di antaranya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, transportasi, sampai kebutuhan dasar lain.

Akan tetapi, ia menyebut bahwa Menteri Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa penetapan kenaikan upah minimum mengacu pada peraturan pemerintah tentang upah yang tidak menggunakan definisi KHL seperti dalam Permenaker No. 18 Tahun 2020.

Maka, KHL yang dimaksud dalam PP baru tersebut hanyalah dilakukan sepihak oleh pemerintah dan tidak memiliki dasar hukum. Hal ini membuat buruh akan merugi.

“Siapa yang menghitung kebutuhan hidup layak itu? Apakah BPS? Apakah Dewan Ekonomi Nasional? Apakah Kemenaker? Kalau menggunakan data BPS, seharusnya menggunakan survei biaya hidup yang kita kenal dengan SBA. Hidup di Jakarta bisa Rp 15 juta. Tidak mungkin hidup di Jakarta Rp 5 juta menurut survei biaya hidup BPS sebulannya,” tegas dia.

“Jadi, kami memandang definisi KHL yang dipaparkan oleh Menteri adalah akal-akalan saja. Seolah-olah ingin di framing atau dinarasikan bahwa upah minimum yang sudah ada di Indonesia sudah melebihi kebutuhan hidup yang layak,” jelasnya.

Ia pun membeberkan alasan terakhir menolak PP tersebut. Menurutnya, Indonesia akan kembali ke masa rezim upah murah. Hal tersebut bisa terjadi karena PP baru disebut mengadopsi beberapa ketentuan dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 51 Tahun 2024 yang sebelumnya sudah dicabut.

“Hal itulah yang menyebabkan KSPI dan buruh Indonesia menolak peraturan pemerintah tentang pengupahan. Dengan demikian, penetapan kenaikan upah minimum 2026 bila mana menggunakan PP pengupahan yang terbaru kami tolak,” tuturnya.*