Senin, 15 Desember 2025
Menu

SBY Singgung Konstitusi, Etika Pemilu, dan Netralitas TNI–Polri dalam Peluncuran Buku Marsekal Djoko Suyanto

Redaksi
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (keempat dari kanan) dan Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto (ketiga dari kiri) dalam peluncuran buku otobiografi Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto di Base Ops Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu, 13/12/2025 | Dok. Imelda Sari
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (keempat dari kanan) dan Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto (ketiga dari kiri) dalam peluncuran buku otobiografi Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto di Base Ops Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu, 13/12/2025 | Dok. Imelda Sari
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan sejumlah pesan politik yang bisa dinilai menyindir pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri peluncuran buku otobiografi Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto di Base Ops Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu, 13/12/2025.

Meski tidak menyebut nama secara langsung, pernyataan SBY tentang pentingnya tidak melanggar konstitusi dalam kontestasi pemilihan umum, kewajiban bekerja keras untuk memenangkan pemilu secara sah, serta ketaatan prajurit TNI dan anggota Polri terhadap aturan saat memasuki jabatan sipil, langsung menarik perhatian publik dan kalangan politik.

Acara peluncuran buku tersebut dihadiri sejumlah tokoh nasional, purnawirawan TNI, akademisi, juga wartawan senior. Di antaranya mantan Wakil Presiden Budiono, mantan menteri Muhamad Hatta Rajasa dan Muhammad Nuh. Kemudian mantan Panglima TNI Laksamana (Purn) Agus Suhartono, mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Rilo Pambudi, Marsekal (Purn) Sutria Tubagus, Marsekal (Purn) Chappy Hakim, Marsekal (Purn) Herman Prayitno, dan Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Juga mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Marsetio, termasuk mantan Kapolri Jenderal (Purn) Timur Pradopo, dan Jenderal (Purn) Sutarman.

Djoko Suyanto merupakan mantan KSAU, Panglima TNI, sekaligus Menko Polhukam di era pemerintahan SBY. Sehingga, forum tersebut dinilai sarat makna simbolik.

Pesan Konstitusi dan Etika Demokrasi

Dalam sambutannya, SBY menekankan bahwa demokrasi Indonesia dibangun di atas konstitusi dan aturan main yang tidak boleh ditawar. Menurutnya, kemenangan dalam pemilu harus diraih melalui cara-cara yang sah, etis, dan bermartabat.

“Dalam demokrasi, tujuan tidak pernah membenarkan cara. Siapa pun yang ingin menang pemilu harus bekerja keras, membangun kepercayaan rakyat, dan tidak melanggar konstitusi,” ujar SBY di hadapan para undangan.

Pernyataan tersebut dinilai banyak pihak sebagai kritik tidak langsung terhadap dinamika politik nasional dalam satu dekade terakhir, khususnya terkait kontroversi perubahan regulasi pemilu dan putusan-putusan lembaga negara yang memicu perdebatan publik.

SBY juga mengingatkan bahwa konstitusi bukan sekadar teks hukum, melainkan kesepakatan moral bangsa yang harus dijaga oleh semua pemegang kekuasaan.

“Kalau konstitusi dilanggar, demokrasi bisa rusak dari dalam. Dan kalau demokrasi rusak, yang menderita adalah rakyat,” katanya.

Kerja Keras, Bukan Rekayasa

Selain soal konstitusi, SBY menyoroti budaya politik yang menurutnya harus kembali pada kerja keras dan adu gagasan, bukan rekayasa kekuasaan.

Ia menegaskan bahwa dalam pengalaman politiknya, kemenangan elektoral tidak pernah diraih secara instan.

“Saya tahu betul bagaimana rasanya kalah dan menang dalam pemilu. Semua harus ditempuh dengan kerja keras, kesabaran, dan menghormati rakyat sebagai pemilik kedaulatan,” ujar Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut.

Pesan ini dianggap sebagai kritik terhadap kecenderungan politik transaksional dan praktik-praktik yang dinilai mencederai semangat demokrasi.

Penegasan Netralitas TNI–Polri

Bagian lain yang paling disorot adalah pernyataan SBY mengenai peran TNI dan Polri dalam jabatan sipil. Ia menegaskan bahwa institusi pertahanan dan keamanan harus tetap profesional dan netral, serta mematuhi aturan perundang-undangan jika anggotanya ingin terjun ke ranah sipil atau politik.

“Kalau ada prajurit atau anggota Polri yang ingin masuk ke jabatan sipil, aturannya jelas. Ikuti hukum, mundur sesuai ketentuan. Jangan menciptakan preseden yang bisa merusak profesionalisme institusi,” tegas SBY.

Pernyataan ini kembali memantik tafsir publik sebagai sindiran terhadap menguatnya peran aparat keamanan dalam jabatan-jabatan sipil strategis dalam beberapa tahun terakhir.

Momentum Buku Djoko Suyanto

Peluncuran buku otobiografi Djoko Suyanto sendiri menjadi latar penting dari pidato SBY. Buku tersebut mengisahkan perjalanan Djoko dari prajurit TNI AU hingga menjadi Panglima TNI dan pejabat sipil, dengan penekanan pada transisi militer ke demokrasi pascareformasi.

SBY menyebut Djoko Suyanto sebagai contoh perwira yang memahami batas-batas peran militer dalam negara demokratis.

“Beliau adalah saksi sejarah bagaimana TNI bertransformasi dari politik kekuasaan menuju politik kenegaraan,” ujar SBY.

Respons dan Tafsir Politik

Pernyataan SBY segera memicu berbagai reaksi. Sejumlah pengamat menilai pidato tersebut sebagai peringatan moral bagi elite politik agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.

“Ini bukan sekadar nostalgia, tapi pesan keras agar demokrasi tidak dikorbankan demi ambisi kekuasaan,” kata seorang analis politik yang hadir dalam acara tersebut.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Istana belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan SBY.

Arah Demokrasi

Pidato SBY di Halim Perdanakusuma menunjukkan bahwa mantan presiden tersebut masih aktif menyuarakan pandangannya tentang arah demokrasi Indonesia. Dengan bahasa yang tenang namun tegas, ia menyampaikan kritik tanpa menyebut nama, tetapi sarat makna politik.

Di tengah dinamika demokrasi yang terus diuji, pesan SBY tentang konstitusi, etika pemilu, dan netralitas aparat negara kembali mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan soal menjaga fondasi bernegara.

Just Call Me Beetle

Dalam kata ‘sekapur sirih’ Djoko Suyanto mengungkapkan, Presiden SBY melalui pengamatan, kecermatan, dan menghadapi risiko politik yang keras, telah mengubah arah perjalanan karier dirinya, baik di TNI maupun pemerintahan. Keberanian SBY mengangkat seorang KSAU menjadi Panglima TNI bukanlah suatu pilihan yang mudah dan sekaligus menjawab berbagai opini dan reaksi yang harus dihadapinya sebagai Presiden.

“Bagi seluruh insan TNI AU, keberanian Bapak SBY mengambil keputusan ini sangatlah besar artinya, bersejarah, dan memberikan pengaruh besar dalam memotivasi setiap personel TNI Angkatan Udara dalam tugas di TNI dan di mana pun ditugaskan, melalui pembinaan dan pengelolaan prajurit TNI AU yang profesional dan edukatif, sehingga mampu mengelola TNI maupun di pemerintahan dengan semangat reformasi,” ujar Djoko Suyanto, lulusan AKABRI Udara (AAU) 1973, seangkatan dengan SBY dari AKABRI Darat (Akmil).

Setelah itu Djoko melanjutkan Sekolah Komando Kesatuan Angkatan Udara (SEKKAU) 1982, Sekolah Staf dan Komando (Seskoau) 1990, Joint Services Staff College (JSCC) di Australia 1995. Adapun kursus militer yang diikutinya: Sekolah Penerbang (1975), Transition Course 1-33 (1976), Transition Course F-86 Sabre (1977), Royal Australian Air Force (RAAF), English Course di Australia (1980), Sekolah Instruktur F-5 di Amerika Serikat/AS (1981), Advanced Figher Training Course di AS (1982), Test Pilot Course F-5 di AS (1982), Language Course di United State Air Force/USAF (1983), Fighter Weapon Instructor di AS (1983), Kursus Instruktur Simulator F-5 di AS (1985), dan Kursus Komandan Pangkalan Udara (1983).

Buku yang ditulis Imelda Bachtiar dan Marsekal Muda Budhi Achmadi itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK). Buku otobiografi yang berjudul Just Another Brick in the Wall ini mulai ditulis pada 2005.

“Saya asih maulidan masih merasa tidak pantas untuk ditokohkan,” kata Djoko yang rendah hati.

Sebagai penerbang tempur kebanggaan TNI, dia memiliki kode panggilan: Beetle yang merupakan personifikasi pesawat tempur F-5 Tiger, kecil, cepat, lincah, dan menyengat.*

 

Laporan oleh: Selamat Ginting