Senin, 15 Desember 2025
Menu

Rismon Tantang Ahli Polisi dan Jokowi dalam Gelar Perkara Khusus di Polda Metro Jaya

Redaksi
Rismon Sianipar di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 15/12/2025 | Muhammad Reza/Forum Keadilan
Rismon Sianipar di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 15/12/2025 | Muhammad Reza/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILANRismon Sianipar bersama Roy Suryo dan dokter Tifauzia Tyassuma (Tifa), yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyebaran tudingan ijazah palsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi), menghadiri gelar perkara khusus di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 15/12/2025.

Dalam pernyataan awal sebelum gelar perkara dimulai, Rismon menegaskan bahwa seluruh kajian yang mereka lakukan merupakan analisis dan kajian ilmiah yang terukur, bukan rekayasa atau manipulasi digital sebagaimana dituduhkan oleh pihak pelapor.

“Kami ingin membuktikan pada gelar perkara khusus ini bahwa semua yang kami lakukan adalah analisa dan kajian ilmiah. Itu konfirmasi dari kami,” kata Rismon.

Rismon menyebut, pihaknya secara khusus menghadirkan dua ahli, yakni Tono Saksono dan Ridho Rahmadi, untuk memberikan pandangan akademik terkait metode digital image processing dan kecerdasan buatan (AI) yang digunakan dalam kajian mereka.

Menurut dia, seluruh analisis dilakukan berdasarkan parameter ilmiah yang dapat diuji secara terbuka.

“Semua operasi dan kajian yang terkait dengan digital image processing maupun AI itu berbasis kajian ilmiah yang terparameterisasi, artinya terukur berdasarkan parameter yang lazim digunakan dalam presentasi ilmiah,” ujarnya.

Rismon menegaskan, pihaknya siap menguji klaim dari ahli Kepolisian maupun ahli dari pihak Jokowi, khususnya terkait tuduhan manipulasi digital, termasuk dugaan pengaturan region of interest (ROI) secara tidak sah.

“Kami ingin mendengarkan pembuktian dari ahli Kepolisian maupun ahli dari Pak Joko Widodo, apakah benar mereka bisa membuktikan bahwa kami mengedit, merekayasa, atau memanipulasi dengan cara-cara yang tidak ilmiah,” kata dia.

Ia menilai tudingan tersebut belum dapat serta-merta dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 32 atau Pasal 35 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tanpa pembuktian ilmiah yang kuat.

Dalam gelar perkara khusus itu, Rismon menyatakan akan mempresentasikan kajiannya secara langsung dengan menggunakan perangkat lunak open source. Ia mempersilakan pihak Kepolisian maupun ahli dari pihak pelapor untuk memeriksa langsung kode sumber yang digunakan.

“Saya akan membawa laptop dengan open source. Ahli dari pihak Pak Joko Widodo maupun dari kepolisian bisa memeriksa jika mereka mencurigai bahwa kami memanipulasi,” ujarnya.

Lebih jauh, Rismon menilai, proses hukum yang menjerat dirinya dan rekan-rekannya merupakan ujian bagi demokrasi dan kebebasan akademik di Indonesia, terutama ketika hasil kajian dianggap tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

“Demokrasi kita tidak boleh dipasung hanya karena hasil kajian itu tidak menyenangkan pihak penguasa. Ini batu ujian bagi demokrasi kita,” kata Rismon.

Ia menambahkan bahwa kajian mereka telah dikompilasi dalam sebuah buku berjudul JWP, yang menurutnya hingga kini belum pernah dibantah melalui karya ilmiah tandingan.

“Sebagai peneliti, jika berseberangan secara ilmiah, seharusnya dibalas dengan tulisan atau buku. Itu cara yang beradab, bukan langsung mengkriminalkan,” tegasnya.

Rismon berharap Kepolisian membuka ruang yang setara bagi seluruh pandangan akademik dalam proses hukum yang berjalan.

“Kami ingin menantang polisi agar juga mendengarkan ahli yang berseberangan dengan ahli yang mereka panggil,” ujarnya.

Ia menyatakan, penjelasan teknis secara rinci mengenai metode analisis yang digunakan akan disampaikan setelah gelar perkara khusus tersebut selesai.*

Laporan oleh: Muhammad Reza