Sabtu, 13 Desember 2025
Menu

Sebut Kyai Zulfa Jembatan Islah Konstitusional, Aktivis Muda NU: Saatnya Menyongsong Kebangkitan Ilmuwan

Redaksi
Pengamat sosial-politik Rikal Dikri | Ist
Pengamat sosial-politik Rikal Dikri | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Penunjukan KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU menjadi babak baru yang tidak hanya mempengaruhi dinamika organisasi, tetapi juga arah masa depan NU.

Bagi kalangan muda, terutama para aktivis yang selama ini mengamati ketegangan internal, hadirnya Kyai Zulfa dianggap sebagai titik pemulihan — sebuah fase krusial untuk menata ulang fondasi kebersamaan dan menegakkan kembali mekanisme konstitusional.

Aktivis Muda NU, Rikal Dikri, melihat posisi Kyai Zulfa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai fase transisi yang menentukan. Menurutnya, jabatan Pj Ketum adalah peran penyangga; memulihkan hubungan antar faksi, menenangkan suasana, dan menata ulang tatanan internal agar kembali berada dalam koridor organisasi.

Ia menekankan bahwa yang dibutuhkan NU saat ini bukan sekadar pergantian wajah, tetapi pemulihan total terhadap kultur berorganisasi.

“Yang kita butuhkan sekarang adalah ketenangan, konsolidasi, dan keberanian untuk kembali ke mekanisme konstitusi. Figur Kyai Zulfa adalah titik pemulihan itu. Tapi masa depan NU tidak boleh hanya berhenti di figur. NU harus bergerak menuju meritokrasi — kepemimpinan berdasarkan kemampuan,” ujar Rikal.

Ia menambahkan, selama ini konsep “ulama” sering dipahami secara sempit. Padahal, dalam konteks modern, ulama mencakup para penggerak ilmu pengetahuan: saintis, peneliti, ekonom, ahli teknologi, sosiolog, hingga ilmuwan lingkungan. Semua memiliki kontribusi keilmuan yang sama besarnya bagi kemaslahatan umat.

“Ulama itu tidak tunggal. Ada ulama dalam agama, ulama dalam sains, ulama dalam ilmu sosial. Ke depan, NU harus menjadi rumah besar bagi semua jalur keilmuan itu. Inilah kebangkitan ilmuwan NU,” tegasnya.

Sementara itu, KH Zulfa Mustofa mengemban empat tugas besar yang telah diputuskan melalui mekanisme pleno PBNU. Tugas pertama adalah konsolidasi internal, sebuah agenda yang memerlukan kecakapan komunikasi dan kesabaran.

Ia harus menjembatani berbagai faksi yang selama berbulan-bulan terbelah, mempertemukan kepentingan, dan memulihkan kepercayaan antar struktur.

Tugas kedua adalah memperkuat kinerja kepengurusan daerah dan percepatan realisasi program kerja, sebuah agenda teknis namun krusial untuk mengembalikan disiplin administrasi organisasi.

Tugas ketiga, menyiapkan Konferensi Besar serta Muktamar 2026, menjadi penentuan apakah fase pemulihan ini berhasil atau tidak. Muktamar bukan sekadar acara pemilihan ketua umum, tetapi forum legitimasi, arah organisasi, dan momentum penyegaran kepemimpinan.

Tugas keempat, memimpin persiapan peringatan 100 Tahun NU pada 31 Januari 2026, sebuah momen simbolik yang sangat besar. Momen seabad harus menjadi panggung yang memperlihatkan NU sebagai organisasi dewasa, stabil, dan mampu menjaga marwahnya di tengah tantangan kebangsaan.

Dalam kerangka itu, Rikal menilai penunjukan Kyai Zulfa menandai momentum penting agar seluruh potensi NU—baik struktural maupun kultural, akademik maupun pesantren—bergerak bersamaan.

Ia menegaskan bahwa generasi muda tidak ingin NU hanya terjebak dalam tarik-menarik kepentingan, tetapi kembali menjadi jangkar moral, intelektual, dan sosial bagi Indonesia.

“Kita ingin melihat NU berdiri tegak sebagai pusat pengetahuan. Kita ingin NU menjadi kiblat ilmu, bukan hanya ritual. Saatnya kita menyambut kebangkitan para ilmuwan NU. Ini bukan wacana, ini kebutuhan zaman,” katanya.

Menurutnya, masa transisi ini harus dimanfaatkan untuk menata ulang tata kelola, memperbaiki sistem, dan memastikan bahwa kepemimpinan ke depan dipilih bukan karena kedekatan, tetapi kompetensi.

Jika ini berhasil, NU bukan hanya pulih — tetapi bangkit sebagai kekuatan pengetahuan terbesar di dunia Muslim.

Rikal kembali menegaskan bahwa tanggung jawab perubahan bukan hanya berada di tangan Pj Ketum, tetapi di setiap kader NU, terutama generasi muda yang telah lama menunggu lahirnya era baru.

“Kita tidak sedang menyambut sosok. Kita sedang menyambut masa depan. Ini waktunya NU bangkit — secara intelektual, moral, dan organisatoris.” pungkas.*