Rabu, 10 Desember 2025
Menu

Pengamat: Banyak PR Pemerintahan Prabowo-Gibran Jelang 2026

Redaksi
Presiden dan Wakil presiden (Wapres) RI Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka | Instagram @prabowo
Presiden dan Wakil presiden (Wapres) RI Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka | Instagram @prabowo
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Ardli Johan Kusuma menilai, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menuju 2026.

Ia menyebut, tahun pertama pemerintahan penuh tantangan dan memunculkan sejumlah persoalan, terutama terkait kebijakan yang memantik perhatian publik.

Ardli menyebutkan, dalam setahun terakhir terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai problematis dan memicu kritik publik, terutama dalam isu demokrasi dan lingkungan hidup.

“Ada kebijakan yang memang layak dikritisi, karena dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Ini bukan sekadar soal teknis pemerintahan, tapi soal ruang demokrasi dan keberpihakan,” ujar Ardli kepada Forum Keadilan, Rabu, 10/12/2025.

Ia menyinggung langkah represif negara terhadap aktivis, termasuk penangkapan aktivis lingkungan di Semarang beberapa waktu lalu.

Menurutnya, berbagai isu lingkungan yang mencuat belakangan ini, termasuk bencana di sejumlah wilayah Sumatra yang dikaitkan dengan proyek pemerintah, turut memperkuat anggapan bahwa kebijakan yang diambil tidak berpihak pada pelestarian lingkungan.

Dalam bidang ekonomi, Ardli menyoroti masih tingginya angka pengangguran.

“Lebih dari 7 juta masyarakat Indonesia masih menganggur. Mereka butuh lapangan pekerjaan. Padahal dalam janji kampanye dijanjikan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

Kondisi tersebut, lanjut Ardli, membuat masyarakat terus menagih janji dan mempertanyakan arah kebijakan pemerintah yang dinilai kurang pro rakyat.

Tak heran terjadi gelombang protes pada Agustus lalu. Ardli menilai, protes itu lahir karena minimnya ruang partisipasi publik melalui jalur politik formal.

“Partisipasi yang seharusnya bisa diakomodir oleh DPR sebagai representasi rakyat itu tidak berjalan. Ketika saluran politik mampet, masyarakat tidak punya pilihan selain turun ke jalan agar suaranya didengar,” tegas Ardli.

Ia menambahkan, gelombang demonstrasi tersebut menjadi bukti bahwa mekanisme penyaluran aspirasi tidak bekerja sebagaimana mestinya, sekaligus menunjukkan kebutuhan pembenahan serius dalam tata kelola pemerintahan dan demokrasi.*

Laporan oleh: Muhammad Reza