Yahya Staquf Resmi Non-Aktif, Kaukus Muda NU: Percepatan Muktamar Adalah Islah Konstitusional
FORUM KEADILAN – Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki fase paling panas setelah Syuriah PBNU resmi menonaktifkan Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf melalui surat edaran bernomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang terbit pada Selasa, 26/11 dini hari.
Keputusan itu secara efektif menghentikan kewenangan Yahya Staquf sebagai Ketua Umum PBNU per pukul 00.45 WIB.
Keputusan Syuriah yang dikawal Rais Aam KH Miftachul Akhyar tersebut berbasis pada rangkaian rapat sebelumnya dan sejumlah dokumen administratif yang dianggap menuntut klarifikasi dari Ketua Umum. Melalui surat resmi itu, Syuriah menginstruksikan rangkaian langkah penyelesaian konflik yang kini membelah dua struktur tertinggi PBNU.
Di tengah situasi yang makin tegang, Kaukus Muda NU menjadi salah satu pihak yang bersuara paling keras menyikapi perkembangan terbaru. Ketua Kaukus Muda NU, Rikal Dikri, menegaskan bahwa konflik ini sudah pada level yang tidak bisa lagi ditangani dengan pertemuan informal atau kompromi jangka pendek.
Menurut Rikal, satu-satunya jalan penyelesaian yang benar, sah, dan bisa diterima seluruh faksi adalah percepatan Muktamar. Ia menyebut langkah itu bukan sebatas solusi politik, tetapi “Islah Konstitusional” mekanisme perdamaian yang paling sesuai dengan aturan organisasi.
“Percepatan Muktamar adalah Islah Konstitusional. Ini jalan damai yang lahir dari mekanisme AD/ART, bukan sekadar ajakan rukun yang tanpa dasar. Konflik sebesar ini tidak bisa diselesaikan dengan pernyataan damai semata. Harus dikembalikan ke forum tertinggi,” ujar Rikal dalam keterangannya.
Ia menegaskan, ketika dua pucuk kepemimpinan PBNU Syuriah dan Tanfidziyah yang berada dalam tensi berlawanan, maka ruang yang paling tepat untuk memutuskannya hanyalah Muktamar.
Menurutnya, forum itu memiliki legitimasi paling tinggi untuk menentukan siapa yang berwenang memimpin PBNU ke depan.
“Kalau terus dibiarkan, konflik ini hanya akan melebar dan menggerus kepercayaan warga NU. Muktamar adalah tempat membersihkan keruhnya suasana, tempat seluruh jamaah menentukan arah organisasi. Itu sebabnya kami menyebutnya Islah Konstitusional,” tegasnya.
Kaukus Muda NU menilai percepatan Muktamar bukan hanya langkah penyelamatan organisasi, tetapi juga cara untuk mengembalikan NU ke stabilitas moral dan sosialnya. Situasi politik internal yang berlarut dinilai mengganggu konsentrasi organisasi dalam mengurus umat dan menjalankan agenda-agenda besar di bidang keagamaan serta kemasyarakatan.
Rikal juga menilai bahwa keputusan Syuriah yang menonaktifkan Yahya Staquf harus dilihat sebagai tanda bahwa konflik sudah berada di titik krusial. Ia berharap kedua kubu tidak memperpanjang ketegangan dengan membuat gerakan tambahan yang justru memicu perpecahan lebih besar.
“Semua pihak harus menahan diri. Yang dibutuhkan sekarang bukan saling serang, tapi kesediaan untuk duduk dalam mekanisme konstitusional. Muktamar mempertemukan semua suara, semua aspirasi, dan sekaligus mengakhiri polemik secara bermartabat,” ujarnya.
Kaukus Muda NU kini mendorong agar percepatan Muktamar dibahas segera dalam forum resmi PBNU. Mereka juga meminta Rais Aam, para ulama, dan seluruh pemegang mandat di NU turut mengawal agar proses menuju Muktamar berjalan tertib dan tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan di luar organisasi.
“Hari ini PBNU tidak butuh manuver. PBNU butuh kepastian. Dan percepatan Muktamar adalah kepastian itu,” tutupnya.
Situasi PBNU masih bergerak cepat. Publik NU kini menunggu apakah suara percepatan Muktamar akan direspons struktural atau justru memperdalam dinamika politik yang sedang berlangsung. *
