Selasa, 18 November 2025
Menu

Komisi III DPR RI Bantah Catut Nama LSM dalam Daftar Pembahasan KUHAP

Redaksi
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman (tengah), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18/11/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman (tengah), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18/11/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Habiburokhman membantah tuduhan adanya pencatutan nama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam proses pembahasan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ia menegaskan bahwa masukan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk LSM, telah diterima secara terbuka dan transparan sejak awal proses pembahasan. Habib menjelaskan, pembahasan tingkat pertama di Panitia Kerja (Panja) sebenarnya telah selesai pada 8–10 Juli. Namun, karena adanya permintaan dari banyak pihak agar pembahasan dibuka kembali, Komisi III memutuskan melanjutkan ruang partisipasi publik tersebut.

“Masukan dari masyarakat sejak Juli, Agustus, September, Oktober, hingga awal November itu terus berdatangan. Hampir 100 kelompok masyarakat hadir, termasuk beberapa LSM, sekelompok yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil, dan lainnya. Yang tidak menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil juga merupakan masyarakat sipil,” katanya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18/11/2025.

Berdasarkan masukan tersebut, tim sekretariat menyusun klasterisasi untuk dibawa kembali dalam rapat Panja setelah Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Dalam tabel tersebut dicantumkan usulan dari berbagai pihak, seperti penghapusan larangan peliputan yang diajukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), hingga usulan ICJR terkait perluasan objek praperadilan, termasuk isu undue delay dan penangguhan penahanan.

“Prinsipnya, 99,9 persen KUHAP baru ini merupakan masukan dari masyarakat sipil, terutama dalam penguatan peran advokat dan hak tersangka untuk memastikan tidak ada kesewenang-wenangan aparat penegak hukum,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Habiburokhman meluruskan informasi menyesatkan yang beredar melalui poster di media sosial yang menyebut RKUHAP memberi kewenangan kepada polisi untuk menyadap, membekukan rekening, mengambil gawai, hingga menangkap seseorang tanpa izin hakim.

“Ini hoaks, hoaks bener,” tegasnya.

Kemudian, ia memaparkan klarifikasi resmi terkait empat isu utama yakni, mengenai penyadapan. Menurut Pasal 135 ayat 2 KUHAP baru, penyadapan akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang khusus yang baru akan dibahas setelah KUHAP disahkan.

“Semua fraksi di Komisi III sepakat bahwa penyadapan hanya boleh dilakukan dengan izin pengadilan,” jelasnya.

Lalu, pemblokiran rekening dan jejak digital, menurut Pasal 139 ayat 2 KUHAP menyatakan seluruh bentuk pemblokiran, termasuk rekening atau data digital, wajib mendapatkan izin hakim.

Kemudian, penyitaan ponsel dan laptop. Sesuai Pasal 44 KUHAP baru, semua bentuk penyitaan hanya dapat dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.

Terakhir, penangkapan dan penahanan. Penangkapan hanya dapat dilakukan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan minimal dua alat bukti. Sementara penahanan diatur jauh lebih ketat dibandingkan KUHAP era Orde Baru.

Habib menekankan, penahanan hanya dapat dilakukan apabila, (1) tersangka mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut, memberikan informasi yang tidak sesuai fakta, menghambat proses pemeriksaan.

Kemudian, berupaya melarikan diri, mengulangi tindak pidana, menghilangkan barang bukti, atau terancam keselamatannya, serta mempengaruhi saksi untuk berbohong (obstruction of justice).

“Semua syaratnya objektif dan jelas. Jadi tidak ada penangkapan sembarangan seperti yang disebutkan dalam poster itu,” tutupnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari