Negara yang Terperosok dalam Jaring Gelap Kekuasaan
Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra MBA
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya membawa republik ini menuju kedewasaan politik, kematangan hukum, dan keadilan sosial. Namun perjalanan panjang itu justru menghadirkan ironi besar, yaitu negara yang dibangun dengan semangat pembebasan kini perlahan terperosok dalam jaring kekuatan gelap yang bekerja di balik struktur resmi kekuasaan. Inilah fase yang dalam kajian politik disebut masa “pelemahan moral negara”, dimana ketika institusi masih berdiri, tetapi kehilangan integritas sebagai penopang utama.
Sejak awal, relasi negara dan rakyat dibentuk oleh pola pembangunan dari atas ke bawah, menciptakan jurang antara pusat kekuasaan dan masyarakat yang tersebar di wilayah pinggiran. Ketika ruang partisipasi rakyat mengecil, pihak-pihak berkepentingan justru masuk menguasai celah itu. Mereka bukan pejabat yang dipilih rakyat, bukan pula institusi yang tunduk pada hukum. Mereka adalah kekuatan informal yang memanfaatkan patronase, modal, dan jaringan kekuasaan, sebagai wajah baru mafia yang tidak lagi bergerak sembunyi-sembunyi, tetapi terhubung langsung dengan lingkar elite.
Para pemikir klasik sudah lama mengingatkan ancaman seperti ini. Plato menyebut demokrasi tanpa integritas akan meluncur menuju tirani ketika penguasa dikuasai oleh ambisi, bukan kebijaksanaan. Arendt menulis tentang “banalitas kekuasaan,” saat negara membiarkan dirinya diperalat sehingga kejahatan menjadi bagian dari rutinitas. Hari ini, Indonesia seakan memenuhi peringatan mereka secara nyata.
Dalam satu dekade terakhir, wajah tata kelola negara berubah signifikan. Oligarki dan pemilik modal bukan hanya menguasai pasar, tetapi ikut menentukan arah hukum, keamanan, dan kebijakan publik. Mereka menjadi godfather yang mengatur jaringan di birokrasi, institusi hukum, dunia usaha, bahkan media. Kelompok preman berkedok ormas dan relawan politik ikut mengisi struktur bawah sebagai alat tekanan dan penguasaan wilayah.
Fenomena ini bukan lagi isu rumor, tetapi telah menjadi struktur paralel yang sistematis. Ia memiliki hierarki, akses ke kekuasaan, mekanisme pendanaan, serta metode intimidasi yang efektif. Inilah bentuk organized crime yang telah berevolusi menjadi bagian dari sistem negara.
Serangkaian kasus besar mempertegas realitas itu, seperti skandal tata niaga timah yang merugikan negara triliunan rupiah, carut-marut industri sawit, tambang ilegal yang dibiarkan hidup oleh aparat, hingga kepailitan moral dalam penegakan hukum dan perpajakan. Semuanya memperlihatkan pola khas jaringan mafia, yaitu kolaborasi antara pejabat, aparat, pemilik modal, makelar kasus, dan aktor non-negara.
Dalam kajian korupsi politik, pola ini dikenal sebagai state capture, yakni kondisi ketika institusi resmi negara dikendalikan oleh jaringan informal yang lebih kuat dari mekanisme demokrasi. Pada fase lebih berat, negara memasuki kondisi kleptokrasi, ketika kekuasaan menjadi alat memperkaya segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi statistik yang diabaikan.
Laode Ida pernah menegaskan bahwa Indonesia menunjukkan hampir seluruh ciri negara mafia, dimana hukum tunduk pada kepentingan politik, partai menjadi kendaraan transaksi, media dikendalikan kepentingan modal, dan kritik publik ditekan melalui kriminalisasi. Ini bukan sekadar kritik moral, tetapi sinyal keras bahwa fondasi negara tengah digerogoti secara sistematis.
Dalam situasi seperti ini, kepemimpinan nasional seharusnya menjadi penjaga moral negara. Namun langkah politik Presiden Prabowo yang memilih kompromi terhadap berbagai dugaan pelanggaran hukum pada era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) justru menimbulkan kekhawatiran. Kompromi mungkin meredakan permukaan, tetapi ia tidak menyembuhkan luka. Bahkan, kompromi terhadap kebenaran adalah pintu masuk menuju runtuhnya martabat negara.
Kompromi yang menabrak prinsip hukum tidak menyelesaikan persoalan, justru memperkuat keyakinan bahwa hukum dapat dinegosiasikan. Negara yang menempuh jalan seperti ini sedang menuju apa yang dalam literatur keamanan disebut killing ground: zona abu-abu ketika hukum melemah, tetapi jaringan informal menguat dan mengambil alih kendali atas sumber daya negara.
Pada fase ini, institusi yang masih memiliki integritas bekerja dalam senyap melawan arus besar. Negara tidak langsung runtuh, tetapi perlahan kehilangan jiwanya. Dalam sejarah, inilah fase paling berbahaya karena perusakan datang bukan dari musuh, tetapi dari dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.
Masih ada waktu untuk membalik keadaan. Namun negara harus berani kembali pada komitmen moral paling dasar, yaitu penegakan hukum tanpa pandang bulu, pembersihan institusi dari jaringan rente, pembatasan dominasi modal dalam politik, dan membuka ruang demokrasi yang tidak dikendalikan oleh tekanan atau kriminalisasi.
Tanpa itu, republik ini akan terus terperosok lebih dalam ke jaring gelap kekuasaan, sebuah kondisi yang tak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa.
Akhirnya, masa depan negara ini akan ditentukan oleh keberanian moral bangsa sendiri. Sebab negara tidak akan jatuh ke tangan mafia bila rakyat memilih untuk tidak tinggal diam.*
