MK Hapus Aturan HGU IKN 190 Tahun, Dibatasi Jadi 95 Tahun Secara Bertahap
FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan lamanya jangka waktu atas penggunaan hak atas tanah (HAT) di Undang-Undang 21/2023 Tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang bisa mencapai hingga 190 tahun dalam bentuk hak guna usaha (HGU).
Mahkamah lantas membatasi HGU diberikan paling lama 35 tahun dengan maksimal selama 95 tahun sepanjang memenuhi kriteria dan evaluasi.
Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan dalam Putusan MK Nomor 185/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Stepanus Febyan Babaro yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 16A ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 tentang UU IKN.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang, Kamis, 13/11/2025.
Dalam putusannya, MK memberikan HGU di IKN paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang pada siklus pertama selama 25 tahun dan bisa diperbarui pada siklus kedua selama 35 tahun. Sehingga total maksimum HGU di IKN ialah 95 tahun selama memenuhi kriteria dan evaluasi.
Sedangkan untuk hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP), masing-masing diberikan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang pada siklus pertama selama 20 tahun dan dapat diperbarui pada siklus kedua 30 tahun. Sehingga total maksimum HGB dan HP di IKN adalah 80 tahun.
Adapun dalam aturan sebelumnya, jangka waktu HGU di IKN diberikan paling lama 95 tahun melalui siklus pertama dan dapat ditambahkan pada siklus kedua selama 95 tahun. Sehingga total HGU menjadi 190 tahun.
Sedangkan untuk HGB dan HP masing-masing diberikan selama 80 tahun dan dapat diperpanjang 80 tahun. Sehingga total tersebut mencapai 160 tahun.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah memahami bahwa pemberian jangka waktu yang lama untuk hak atas tanah di IKN untuk mendatangkan para investor dalam menanamkan modal di IKN.
Namun, MK menegaskan bahwa aturan yang bersifat khusus tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip yang sudah diatur dalam Konstitusi.
“Dalam konteks ini, Mahkamah dapat memahami upaya pemerintah untuk meningkatkan daya tarik investor namun demikian peraturan yang bersifat khusus, terlebih di bawah Konstitusi tidak boleh bertentangan dengan prinsip yang ditentukan dalam Konstitusi, dalam hal ini hak menguasai negara, sehingga melemahkan negara dalam menjalankan kedaulatan negara,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.
MK menilai bahwa pengaturan mengenai hak atas tanah tidak hanya bertujuan untuk menarik minat investor menanamkan modal, tetapi juga harus memperhatikan aspek lain seperti kepastian hukum, penegakan hukum yang berkeadilan, penyederhanaan birokrasi yang rumit, serta upaya menekan biaya ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, Mahkamah juga menyoroti perlunya evaluasi atas penggunaan hak atas tanah di IKN. Menurut MK, jika mengacu pada aturan sebelumnya yang mencapai 100 tahun ke atas, negara justru tidak dapat melakukan evaluasi.
“Sebab, dengan pengaturan demikian jelas tidak mungkin negara dapat melakukan evaluasi, apakah tanah tersebut secara faktual masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian HAT,” katanya.
MK menegaskan bahwa pemerintah dapat menghentikan atau membatalkan HAT jika investor terbukti menelantarkan tanah atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanah, serta melanggar ketentuan UU Pokok Agraria sebagaimana amar putusan MK nomor: 21-22/PUU-V/2007.
MK menegaskan bahwa UU Pokok Agraria telah mengatur bahwa kepemilikan tanah agar seluruh tanah di wilayah NKRI dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun gotong royong.
“Sekalipun UUPA berlaku sejak tahun 1960, namun secara substansi dimaksudkan untuk mengikuti kepentingan rakyat Indonesia dalam memenuhi keperluannya menurut permintaan atau perkembangan zaman dalam segala hal ihwal berkenaan dengan agraria,” katanya.
Adapun putusan ini tidak diputuskan secara bulat, yakni terdapat 2 dissenting opinion atau pendapat berbeda yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh dan 1 conccuring opinion dari Arsul Sani.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi
