Jumat, 07 November 2025
Menu

Tokoh NU-Muhammadiyah Tolak Gelar Pahlawan Suharto

Redaksi
Logo Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) | Ist
Logo Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Suharto, turut disampaikan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Usman Hamid menegaskan bahwa sosok pahlawan nasional seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keberanian moral hingga akhir hayat.

“Jadi kalau dia meninggal dunia dalam keadaan melakukan kejahatan atau dengan status tersangka atau terdakwa, entah itu kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan lingkungan, atau korupsi, sulit diletakkan sebagai pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6/11/2025.

Ia menyoroti bahwa status hukum Suharto tidak pernah terselesaikan hingga masa akhir pemerintahannya.

“Suharto meninggal dunia ketika ia setengah diadili oleh pengadilan karena kasus korupsi bahkan di Asia Tenggara, dia dianggap sebagai pemimpin paling buruk di dunia,” jelasnya.

Menurut Usman, seorang pahlawan sejati adalah mereka yang memiliki keberanian moral serta rela berkorban demi kepentingan orang lain.

“Bagaimana bisa Suharto disandingkan dengan Gus Dur, Suharto disandingkan dengan Marsinah?” katanya.

Sementara itu, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, juga menegaskan penolakannya terhadap rencana pemerintah yang ingin menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Suharto.

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan pahlawan nasional,” ujar Gus Mus, Rabu, 5/11.

Gus Mus mengenang bahwa pada masa pemerintahan Suharto, banyak ulama dan kiai pesantren yang mengalami perlakuan tidak adil.

“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ceritanya.

Ia juga menuturkan kisah Kiai Sahal Mahfudh yang pernah diminta menjadi penasihat Golkar di Jawa Tengah. Namun, Sahal menolak untuk bergabung

Gus Mus menilai, banyak ulama dan tokoh bangsa yang berjasa besar, namun keluarganya tidak pernah mengajukan gelar pahlawan sebagai bentuk keikhlasan dalam beramal.

“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU periode 2014–2015 itu.

Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah tersebut juga mengingatkan bahwa warga NU yang mendukung pemberian gelar pahlawan untuk Suharto menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah.

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” kata Gus Mus.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi