Kegilaan yang Menyelamatkan Bangsa
Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra MBA
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Setiap bangsa yang sedang sakit selalu membutuhkan obat di luar kebiasaan. Dalam situasi ketika hukum tak lagi berpihak pada keadilan, ketika korupsi menjadi budaya, dan ketika elite bersekongkol menindas kepentingan publik, maka bangsa itu tak lagi bisa diselamatkan dengan langkah-langkah yang normal. Ia memerlukan pemimpin yang berani menempuh jalan yang dianggap ‘gila’, bukan dalam arti kehilangan nalar, tetapi justru karena memiliki kewarasan yang melampaui politik kepura-puraan.
Indonesia hari ini berada di titik yang mengkhawatirkan. Hukum masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Oligarki menguasai sumber daya ekonomi dan politik, sementara rakyat kecil hanya menjadi statistik pembangunan. Demokrasi yang dulu diharapkan menjadi sarana pembebasan kini berubah menjadi teater kekuasaan, tempat partai dan elite politik memperjualbelikan suara rakyat.
Laporan Transparency International 2024 menunjukkan Indonesia turun ke peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Penurunan ini adalah sinyal keras bahwa korupsi bukan lagi sekadar perilaku menyimpang, melainkan sistem yang hidup dan beranak-pinak dalam birokrasi. Sementara itu, ketimpangan sosial makin melebar, sepuluh persen penduduk terkaya menguasai lebih dari 70 persen kekayaan nasional.
Dalam situasi semacam ini, bangsa ini tidak butuh presiden yang pandai beretorika, tetapi pemimpin yang berani ‘gila’, yakni gila dalam keberanian moral, gila dalam menegakkan keadilan, dan gila dalam membela rakyat tanpa pamrih. Sosok yang tidak takut kehilangan jabatan demi mempertahankan kebenaran. Sebaliknya, yang sering muncul justru pemimpin yang sekadar berperan gila, di mana tampil sederhana di depan kamera, berbicara lantang soal perubahan, tapi di belakang layar bersekutu dengan oligarki dan dinasti politik yang sama.
Bangsa yang sedang sakit tidak akan sembuh jika diserahkan kepada dokter yang hanya pandai menenangkan gejala, bukan menyembuhkan penyakit. Dalam konteks kenegaraan, penyakit itu adalah kompromi moral, dengan kebiasaan pemimpin untuk menunda kebenaran demi stabilitas, mengorbankan keadilan demi elektabilitas.
Padahal, sejarah mencatat bahwa bangsa-bangsa besar hanya lahir dari keberanian untuk menempuh langkah-langkah yang dianggap gila oleh zamannya. Thomas Jefferson berani menantang monarki Inggris dan mendirikan republik; Mahatma Gandhi dianggap gila ketika memilih perlawanan tanpa kekerasan; Nelson Mandela dicap pengkhianat karena menolak tunduk pada apartheid. Semua dianggap gila, hingga sejarah membuktikan kewarasan moral mereka.
Belajar dari Sultan Iskandar Muda
Dalam sejarah Nusantara, kita punya teladan yang sering dilupakan: Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh Darussalam (1607–1636). Ia naik tahta pada masa ketika Aceh dilanda kekacauan: rakyat kelaparan, bangsawan berkhianat, dan kekayaan negeri dikuasai oligarki. Di usia muda, Iskandar Muda mengambil keputusan yang bagi zamannya dianggap ‘gila’. Ia menghukum mati para ulee balang pembangkang, menyita kekayaan kaum kaya yang menimbun bahan pokok, dan mendistribusikannya kepada rakyat miskin.
Kebijakan radikal itu berhasil mengakhiri kelaparan dan menegakkan kembali wibawa hukum. Dalam waktu singkat, Aceh bangkit menjadi kerajaan maritim terkuat di Asia Tenggara. Namun, puncak kegilaan moral Iskandar Muda terlihat ketika ia menghukum mati putranya sendiri, Meurah Pupok, karena melanggar hukum. Dari peristiwa itu lahirlah ungkapan yang abadi, yaitu “Mate aneuk meupat jerat, gadoh adat pat tajak mita (Mati anak ada kuburnya, hilang adat ke mana hendak dicari)”.
Ungkapan itu adalah manifestasi tertinggi dari moral kenegaraan: bahwa hukum dan keadilan harus berdiri di atas segalanya, bahkan di atas cinta seorang ayah terhadap anaknya sendiri. Itulah bentuk kegilaan yang sejati, yaitu kegilaan yang menyelamatkan bangsa.
Bandingkan dengan keadaan kita hari ini. Ketika anak pejabat tersandung hukum, yang pertama dilakukan bukan introspeksi, melainkan lobi. Ketika keluarga penguasa terlibat konflik kepentingan, hukum justru mencari jalan untuk membenarkan, bukan menegakkan. Pemimpin lebih takut kehilangan citra daripada kehilangan nurani.
Dalam filsafat politik, Plato menyebut, ideal pemimpin sebagai philosopher king yakni raja filsuf yang mencintai kebenaran melebihi kekuasaan. Namun dalam praktik demokrasi kita, yang sering lahir justru political merchant, yaitu pedagang politik yang menukar nilai dengan transaksi kekuasaan. Rasionalitas politik mereka hanya berhenti pada perhitungan untung-rugi, bukan pada panggilan moral.
Padahal, seperti dikatakan Max Weber, kekuasaan sejati hanya memiliki legitimasi ketika dilandasi ethical responsibility, di mana tanggung jawab etis yang melampaui kepentingan pribadi. Ketika seorang pemimpin mengabaikan tanggung jawab itu, maka ia bukan lagi bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah itu sendiri.
Dalam konteks itulah, kegilaan menjadi bentuk kewarasan baru. Ia adalah keberanian untuk mengatakan “tidak” pada sistem yang korup, walau semua orang menganggapnya bunuh diri politik. Ia adalah keputusan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meski risiko politiknya berat. Ia adalah tindakan moral yang membuat pemimpin berdiri sendirian di hadapan sejarah, tapi justru karena itulah namanya dikenang.
Negara dan Kegilaan Moral
Negara yang sehat membutuhkan rasionalitas politik, tetapi rasionalitas itu akan kehilangan makna jika tidak disertai keberanian moral. Dalam politik modern, terlalu banyak pemimpin yang bersembunyi di balik kata ‘realistis’, sebuah istilah yang sering digunakan untuk membenarkan ketakutan. Mereka mengaku tak bisa melawan sistem karena ‘itu kenyataan politik’. Padahal, kenyataan itulah yang justru harus diubah.
Kegilaan yang dibutuhkan bangsa ini adalah kegilaan moral: kegigihan untuk membalikkan logika ketakutan menjadi keberanian, logika kompromi menjadi ketegasan, dan logika kekuasaan menjadi pengabdian. Dalam kerangka itu, pemimpin yang benar-benar ‘gila’ bukanlah yang berteriak lantang di depan kamera, tetapi yang berani mengambil keputusan yang tidak populer demi kebenaran.
Socrates pernah berkata, “The unexamined life is not worth living (kehidupan politik yang tak diperiksa nuraninya juga tak layak dijalani)”. Bangsa yang enggan memeriksa moral pemimpinnya akan terseret dalam ilusi kemajuan yang kosong. Kita bisa saja membangun jalan tol, jembatan, atau bandara baru, tetapi tanpa keadilan sosial dan moralitas publik, semua itu hanya hiasan atas tubuh bangsa yang sekarat.
Negeri ini membutuhkan presiden yang berani melawan dirinya sendiri, yang berani kehilangan kekuasaan demi kejujuran, yang lebih takut pada sejarah daripada pada survei elektabilitas. Presiden yang ‘gila’ karena terlalu waras untuk membiarkan bangsanya jatuh lebih dalam.
Bangsa besar tidak dibangun oleh pemimpin yang berpura-pura waras, tetapi oleh mereka yang berani ‘gila’ dalam menegakkan kebenaran. Dalam setiap bab sejarah manusia, selalu ada tokoh yang dianggap gila oleh sezamannya, namun kemudian terbukti menjadi penyelamat bagi bangsanya.
Kewarasan Baru untuk Indonesia
Kita tidak kekurangan orang pintar, tapi kita kekurangan orang yang berani ‘gila’ secara moral. Ketika politik berubah menjadi industri kekuasaan, ketika hukum kehilangan arah, dan ketika rakyat dijadikan komoditas elektoral, maka keberanian menjadi satu-satunya bentuk kewarasan yang tersisa.
Bangsa ini tidak akan diselamatkan oleh presiden yang pura-pura gila untuk menarik simpati rakyat. Bangsa ini hanya bisa diselamatkan oleh presiden yang benar-benar ‘gila’, karena hanya kegilaan yang lahir dari nurani mampu memulihkan kewarasan bangsa yang sedang sekarat.*
