Kamis, 30 Oktober 2025
Menu

MK Tolak Samakan Usia Pensiun Guru dengan Dosen, Pemerintah Diminta Kaji Ulang Aturan

Redaksi
Ilustrasi Guru | Ist
Ilustrasi Guru | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak penyamaan masa usia pensiun guru dengan dosen. Meski begitu, MK meminta kepada pemerintah untuk mengkaji ulang aturan untuk memperpanjang usia pensiun guru dengan jabatan fungsional ahli utama menjadi 65 tahun.

Hal tersebut termuat dalam putusan MK Nomor 99/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh seorang guru bernama Sri Hartona yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 30 ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Masa Usia Pensiun Guru dan Dosen. Dirinya meminta agar Mahkamah menetapkan masa pensiun guru yang semula 60 tahun menjadi 65 tahun.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoto saat membacakan amar putusan di ruang sidang, Kamis, 30/10/2025.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa batas usia pensiun guru tidak bisa disamakan dengan batas usia pensiun dosen yang dapat mencapai 70 tahun bagi profesor yang berprestasi.

Apalagi, terdapat perbedaan syarat untuk menjadi dosen dan guru. Adapun jabatan fungsional guru mensyaratkan pendidikan minimal Strata 1 (S1), sedangkan jabatan dosen mensyaratkan pendidikan minimal S2.

Dengan adanya perbedaan tersebut, Mahkamah menilai bahwa seorang dosen baru bisa menjabat di usia yang relatif lebih tinggi ketimbang guru.

“Jika batas usia pensiun guru disamakan dengan jabatan fungsional dosen, maka rentang waktu masa bekerja seorang guru akan lebih panjang dari dosen. Sebab, secara umum, dosen memulai masa kerja pada usia yang relatif lebih tinggi, yaitu setelah yang bersangkutan memperoleh gelar S2. Untuk itu, menurut Mahkamah tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma berkenaan dengan pembedaan batas usia pensiun antara guru dan dosen,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Bentuk Kajian Perpanjangan Usia Pensiun Guru 65 Tahun

Mahkamah meminta kepada pemerintah untuk membentuk kajian, terutama pada jabatan fungsional guru pada jenjang jabatan ahli utama untuk mencapai batas usia pensiun menjadi 65 tahun. Mahkamah menyebut bahwa perubahan batas usia pensiun tersebut merupakan ranah pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

“Kajian demikian diperlukan karena terkait dengan berbagai pertimbangan yang berada di luar kewenangan Mahkamah. Sebab, persoalan tersebut tidak hanya terkait dengan syarat kesehatan jasmani dan rohani, kompetensi, kualifikasi, kuota serta hal-hal teknis sehingga perpanjangan batas usia pensiun bagi guru pada jenjang jabatan ahli utama benar-benar akan berkontribusi besar bagi peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional,” katanya.

MK menegaskan bahwa jabatan guru dalam sistem pendidikan Indonesia sangat penting, terutama dalam bertanggungjawab terhadap pendidikan anak sejak usia dini, baik untuk hal akademik maupun persoalan moralitas.

Menurut Mahkamah, tanpa pendidikan yang berkualitas sejak usia dini, maka kemungkinan akan sulit bagi seseorang untuk dapat terbentuk menjadi pribadi yang unggul.

“Dalam konteks ini, menjadi penting artinya profesi guru dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia yang seharusnya menjadi profesi yang sangat mulia dan mendapat penghargaan tinggi bukan hanya oleh masyarakat tetapi juga dari negara,” kata Enny.

Apalagi, MK juga menyoroti masalah keterbatasan jumlah tenaga pendidik di Indonesia. Data pemerintah yang disampaikan di persidangan menunjukkan jumlah guru di Indonesia mencapai 3.087.197 orang, terdiri dari 1.731.641 guru ASN dan 1.355.556 guru non-ASN. Sementara itu, guru di bawah Kementerian Agama (Kemenag) berjumlah 148.031 orang.

Sementara, berdasarkan data Ditjen GTKPG Kemendikdasmen 2025, terdapat 345.555 guru ASN berusia di atas 55 tahun, lebih banyak dibanding 314.891 guru ASN berusia di bawah 35 tahun. Kondisi ini menunjukkan perlunya kebijakan rekrutmen dan pengelolaan pensiun agar kesinambungan tenaga pendidik tetap terjaga.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi