Kamis, 30 Oktober 2025
Menu

Budi Arie: Proyek Whoosh Bukan Barang Mangkrak

Redaksi
Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) sekaligus mantan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi di Kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 29/10/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) sekaligus mantan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi di Kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 29/10/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) sekaligus mantan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, menanggapi isu pembayaran utang proyek Whoosh yang menjadi sorotan publik usai muncul kabar mengenai penolakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudi Sadewa untuk melunasi utang proyek tersebut menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Budi Arie menegaskan bahwa secara prinsip, proyek transportasi publik di seluruh dunia memang membutuhkan dukungan dan keberpihakan negara. Ia mencontohkan sejumlah sistem transportasi massal di berbagai negara yang juga disubsidi pemerintah.

“Di seluruh dunia yang namanya transportasi publik, selalu memerlukan keberpihakan dan dukungan negara. Di New York saja, kereta apinya disubsidi US$500 juta per tahun. MRT Jakarta masih disubsidi Rp900 miliar per tahun. MRT di Singapura juga belum balik modal. Tapi yang dicari dari transportasi publik bukan profit, melainkan benefit,” katanya, di Kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 29/10/2025.

Menurutnya, manfaat dari transportasi publik seperti Whoosh bukan sekadar keuntungan finansial, melainkan efek berganda bagi masyarakat dan negara. Ia menyebut, penggunaan moda transportasi berbasis listrik mampu menekan emisi gas buang serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan mobilitas antar wilayah.

Benefit-nya besar, dari sisi lingkungan karena emisi berkurang, sosial ekonomi meningkat, dan mobilitas orang jadi lebih cepat. Belum lagi potensi pengembangan wilayah baru di sepanjang jalur kereta cepat,” lanjutnya.

Budi juga menilai, perbandingan antara biaya pembangunan Whoosh di Indonesia dengan proyek serupa di Arab Saudi tidak bisa disamakan, mengingat kondisi geografis yang berbeda.

“Menurut hemat saya, itu tidak apple to apple. Di sini banyak gunung yang ditembus dan hampir seluruh jalurnya elevated. Bahkan menurut pihak Tiongkok sendiri, kualitas kereta cepat kita sekarang ini lebih bagus dari beberapa yang mereka bangun di sana. Teknologinya juga terbaru,” jelasnya.

Budi menegaskan bahwa proyek Whoosh tidak bisa disebut gagal atau mangkrak. Ia menyebut, saat ini jumlah penumpang harian sudah mencapai 17 ribu orang, dengan pendapatan tahunan mencapai Rp1,6 hingga Rp1,8 triliun.

“Secara ebitda, antara pendapatan dan biaya operasional KCIC sudah positif. Jadi ini bukan barang mangkrak. Kalau ada masalah utang, itu bisa diselesaikan dengan restrukturisasi. Misalnya, tenornya diperpanjang dari 20 tahun menjadi 50–60 tahun, dan grace period-nya ditambah dari 5 menjadi 10 tahun,” tegasnya.

Budi menambahkan bahwa pembiayaan proyek Whoosh sejatinya bersifat Business to Business (B2B), bukan menggunakan dana APBN secara langsung.

“Semua program transportasi publik di dunia menggunakan public fund atau debt. Artinya, ini tidak melibatkan APBN secara langsung. Ini murni B2B,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari