Senin, 27 Oktober 2025
Menu

Wamen Haji dan Umroh Nilai Gugatan Asosiasi Travel ke MK soal UU Haji Hal Wajar

Redaksi
Wakil Menteri Haji (Wamenhaj) Dahnil Anzar Simanjuntak di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27/10/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Wakil Menteri Haji (Wamenhaj) Dahnil Anzar Simanjuntak di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27/10/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Wakil Menteri Haji dan Umrah Dahnil Anzar Simanjuntak menanggapi rencana sejumlah asosiasi pengusaha travel yang berencana menggugat Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Tahun 2025 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, kekhawatiran yang muncul dari kalangan pelaku usaha travel tersebut merupakan hal yang beralasan dan wajar.

“Saya pikir kegelisahan mereka beralasan, karena mereka khawatir kehilangan jemaah. Itu hal yang wajar,” katanya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27/10/2025.

Ia menjelaskan, perubahan regulasi penyelenggaraan haji dan umrah tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi informasi serta aturan pemerintah Arab Saudi. Saat ini, kata Dahnil, pemerintah Saudi telah lama membuka peluang umrah mandiri, jauh sebelum UU Nomor 14 Tahun 2025 disahkan.

“Pemerintah Saudi Arabia sejak dulu membuka peluang umrah mandiri. Jadi sebelum ada UU itu, banyak jemaah kita yang sudah melakukan umrah mandiri. Karena itu, UU ini justru hadir untuk melindungi mereka agar sesuai dengan regulasi Saudi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dahnil mencontohkan bahwa kemajuan teknologi kini memungkinkan calon jemaah untuk mengurus sendiri keperluan perjalanan ibadah mereka, mulai dari pemesanan tiket hingga akomodasi hotel melalui platform resmi seperti ‘Nusuk’.

“Sekarang beli tiket bisa lewat Nusuk, akomodasi juga bisa. Apalagi anak muda zaman sekarang, semua bisa dilakukan secara mandiri. Hal seperti ini tidak bisa dibendung,” ujarnya.

Namun, Dahnil menegaskan bahwa umrah mandiri juga memiliki konsekuensi hukum. Pemerintah akan memperketat pengawasan agar tidak muncul praktik moral hazard, seperti individu yang tidak memiliki izin sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tetapi memobilisasi orang lain untuk berangkat bersama.

“Itu pelanggaran hukum. Misalnya ada orang bukan travel resmi tapi mengajak orang lain untuk bayar ke dia dan berangkat bareng, itu tindak pidana. Undang-undang sudah mengatur hal itu, dan pemerintah akan menindak tegas,” katanya.

Ia menambahkan, kehadiran UU baru ini justru memberikan ruang bagi pelaku usaha travel untuk meningkatkan kualitas layanan di tengah persaingan yang semakin terbuka.

“PR-nya bagi teman-teman travel adalah memperbaiki layanan secara terus-menerus. Kami memahami keresahan mereka, tapi regulasi ini dibuat bukan untuk mematikan usaha travel, melainkan melindungi jemaah dan memastikan penyelenggaraan ibadah sesuai aturan,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari