Senin, 27 Oktober 2025
Menu

Sapu Bersih Atau Sapu Pilih? Menakar Janji Kejaksaan Dalam Era Politik Anti-Korupsi

Redaksi
Ilustrasi Kejaksaan Agung dan Tersangka Korupsi | Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ilustrasi Kejaksaan Agung dan Tersangka Korupsi | Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Bagikan:

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra

 

Pemerhati Intelijen

 

FORUM KEADILAN – Ada satu kalimat yang menggetarkan sendi penegakan hukum beberapa hari terakhir bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan akan mengevaluasi seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), khususnya terkait kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pernyataan itu bukan muncul di ruang hampa, melainkan di tengah pelantikan 17 Kajati dan 20 pejabat eselon II Kejaksaan Agung pada 23 Oktober 2025. Pidato yang disampaikan saat tangan para pejabat menyentuh kitab suci itu hadir sebagai penanda gerak baru, sebuah respons langsung terhadap arah politik hukum Presiden Prabowo Subianto yang ingin menumpas korupsi sampai ke akar kekuasaannya yang paling dalam.

Dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Prabowo berkali-kali memperlihatkan kemarahannya di ruang publik. Bukan sembarang kemarahan, melainkan kekecewaan sistemik terhadap jajaran direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berjalan bak para raja kecil yang menikmati tantiem, fasilitas, dan gaji hingga 300 kali lipat dari upah minimum, namun gagal menghadirkan kontribusi ekonomi yang signifikan. Jika negara adalah perusahaan, maka para direktur itu adalah manajer yang boros, tidak efektif, dan perlahan-lahan menggerogoti keuangan negara. Data kerugian negara akibat dugaan korupsi di lingkungan BUMN disebut telah mendekati angka Rp1.000 triliun, angka yang jika benar adanya, bukan hanya mencoreng penalaran akal sehat, tetapi mengguncang fondasi etika kebangsaan.

Dalam konteks inilah, instruksi Presiden kepada Jaksa Agung untuk mengeksekusi para pelaku korupsi di BUMN bukan lagi sekadar retorika kampanye, melainkan perintah politik yang menuntut tindakan. Namun tindakan tanpa pembenahan internal hanya akan melahirkan penegakan hukum yang pincang. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kajati dan Kajari menjadi nadi penting. Sebab, di sejumlah daerah, jaksa bukan saja penegak hukum, tetapi juga aktor ekonomi gelap yang bermain proyek dengan pemerintah daerah. Kisah dari Kabupaten dan Kota Tangerang adalah contoh yang membentang telanjang tentang indikasi oknum Kejaksaan menjadi backing kontraktor, mengunci perputaran proyek, mematikan ruang hidup ekonomi para pengusaha lokal kecil. Di titik inilah penegakan hukum berubah menjadi instrumen rente.

Penegakan Hukum, Barometer Kedaulatan Negara

Dalam literatur politik hukum klasik, negara hanya memiliki dua instrumen nyata untuk menegakkan kekuasaan, dimana kekuatan koersif (tentara) dan kekuatan legitimasi (hukum). Ketika hukum kehilangan kepercayaan publik, negara kehilangan separuh kedaulatannya. Dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan bagaimana kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjebak dalam apa yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai “penegakan hukum katering”, yakni hukum yang disajikan sesuai pesanan kekuasaan dan kepentingan. Harapan publik secara perlahan berpindah, kini tertumpu pada Kejaksaan Agung (Kejagung).

Namun, harapan tanpa konsistensi akan berubah menjadi sinisme. Kejagung harus menunjukkan penegakan hukum yang tajam ke segala arah, bukan hanya ke musuh politik atau kelompok yang tidak memiliki proteksi kekuasaan. Equality before the law bukan slogan moral, tetapi prasyarat kelangsungan negara demokratis. Tanpa keberanian mengurai jaringan korupsi hingga ke tingkat Kejari dan Kejati, janji “sapu bersih” akan berubah menjadi “sapu pilih.”

Dalam filsafat etika, kebersihan moral tidak hanya diuji oleh tindakan, tetapi oleh kesempatan. Ada orang yang bersih karena prinsip, ada yang bersih karena takut, dan ada yang bersih karena belum mendapatkan peluang. Pada akhirnya, pertanyaan yang harus dijawab Jaksa Agung bukan semata apakah ia mampu membersihkan lembaganya, tetapi apakah ia mampu membangun sistem yang mencegah kotor itu tumbuh kembali.

Sebab, korupsi di negeri ini bukan sekadar tindakan individu. Ia adalah kultur, jaringan, dan habitus. Menghadapinya bukan hanya memerlukan keberanian, tetapi kecerdasan, independensi, dan konsistensi moral yang tidak tunduk pada pesanan politik.

Jika sapu sudah diangkat, jangan berhenti di lantai ruang tamu. Bersihkan sampai ke sudut-sudut rumah. Sebab, di situlah sarang sebenarnya berada.*