Menguji Transparansi Seleksi Dewas dan Direksi BPJS 2026–2031
Hardy R. Hermawan
Peneliti SigmaPhi Indonesia, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
FORUM KEADILAN – Masa jabatan Dewan Pengawas (Dewas) dan Direksi BPJS Kesehatan serta BPJS Ketenagakerjaan akan berakhir pada 21 Februari 2026. Berdasarkan ketentuan, Presiden Republik Indonesia diwajibkan membentuk Panitia Seleksi (Pansel) paling lambat enam bulan sebelum masa jabatan berakhir. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi serta Calon Anggota Pengganti Antar Waktu Dewan Pengawas dan Direksi BPJS.
Peraturan tersebut dimaksudkan untuk memastikan proses rekrutmen Dewas dan Direksi BPJS berjalan transparan, akuntabel, dan profesional. Prinsip tata kelola ini penting agar lembaga publik sebesar BPJS terhindar dari intervensi kepentingan politik atau kelompok tertentu yang dapat mengganggu integritas lembaga. Sebagai badan hukum publik, BPJS harus dikelola berdasarkan tiga asas dan sembilan prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang menjunjung tinggi asas gotong royong, keadilan sosial, serta kepastian hukum bagi seluruh peserta.
Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 104/P Tahun 2025 dan Keputusan Presiden Nomor 105/P Tahun 2025 pada 6 Oktober 2025 untuk membentuk Pansel calon Dewas dan Direksi BPJS periode 2026–2031. Meski terdapat keterlambatan sekitar satu minggu dari jadwal ideal, hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menurunkan standar tata kelola seleksi. Pansel tetap wajib menjalankan seluruh tahapan dengan menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme agar hasil seleksi memperoleh legitimasi publik yang kuat.
Namun, pelaksanaan Perpres Nomor 81 Tahun 2015 menghadapi kendala dalam penerapan Pasal 22 ayat (4) dan (5). Kedua ayat tersebut mengatur bahwa calon Dewas dari unsur pekerja dan pemberi kerja diusulkan oleh organisasi di tingkat nasional dengan jumlah masing-masing delapan calon yang memenuhi syarat. Dalam praktiknya, pada seleksi tahun 2025 jumlah calon dari unsur pekerja yang diajukan organisasi serikat pekerja atau buruh tingkat nasional dilaporkan jauh melebihi ketentuan, bahkan mencapai puluhan orang. Situasi ini menimbulkan kekosongan hukum dan membuka potensi ketidakseragaman proses seleksi.
Pansel memang telah membuka pendaftaran calon melalui laman resmi BPJS dan menyatakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan akan menyeleksi dan menyerahkan delapan calon dari masing-masing unsur kepada Pansel. Namun, mekanisme itu memunculkan dugaan bahwa terdapat tahapan seleksi awal di luar kendali langsung Pansel. Jika benar, maka publik berhak mempertanyakan sejauh mana proses tersebut sejalan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme yang dijanjikan pemerintah.
Sebagai pembanding, pengalaman saya mengikuti proses seleksi calon anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2024–2029 dapat dijadikan contoh baik. Pada seleksi tersebut, calon dari unsur pekerja yang lulus tahap administrasi mencapai 30 orang. Penilaian dilakukan berlapis melalui seleksi makalah, uji kompetensi oleh lembaga independen, dan tes kesehatan di rumah sakit pemerintah.
Hasil penilaian tersebut mempersempit jumlah calon menjadi delapan orang secara transparan dan objektif. Tahap akhir berupa wawancara di hadapan seluruh anggota Pansel berfungsi menilai integritas dan kapasitas manajerial calon secara menyeluruh. Dari proses itu, empat nama diajukan kepada Presiden untuk dipilih dua orang. Mekanisme seperti ini menunjukkan bahwa seleksi yang terbuka, terukur, dan dapat diaudit akan memperkuat legitimasi lembaga publik.
Prinsip Representasi Publik
Secara hukum, Dewan Pengawas BPJS terdiri atas tujuh anggota dari empat unsur: pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan tokoh masyarakat. Proporsinya adalah dua orang dari unsur pekerja (28,6 persen), dua orang dari unsur pemberi kerja (28,6 persen), dua orang dari unsur pemerintah (28,6 persen), dan satu orang dari unsur tokoh masyarakat (14,2 persen).
Dengan demikian, unsur publik dalam Dewas mencapai 71,4 persen. Angka ini menegaskan bahwa BPJS harus berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan politik, bisnis, atau kekuasaan tertentu.
Sebagai badan hukum publik, BPJS tidak memiliki tujuan mencari keuntungan seperti BUMN. Fungsi utamanya adalah melindungi dan menjamin kesejahteraan sosial seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, proses seleksi Dewas dan Direksi harus benar-benar bebas dari intervensi politik, tekanan ekonomi, dan konflik kepentingan. Kualitas kepemimpinan BPJS akan menentukan efektivitas pelayanan publik dan keberlanjutan sistem jaminan sosial nasional.
Dalam kerangka manajemen modern, prinsip good governance menjadi landasan utama pengelolaan BPJS. Tiga pilar utamanya—transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme—harus terwujud dalam setiap tahap proses seleksi. Transparansi menuntut keterbukaan informasi dan akses publik terhadap seluruh tahapan seleksi. Akuntabilitas menegaskan bahwa setiap keputusan harus memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Profesionalisme memastikan bahwa yang terpilih memiliki integritas, kapasitas manajerial, dan rekam jejak pengabdian publik yang teruji.
Untuk menjaga agar prinsip-prinsip tersebut dijalankan, keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting. Serikat pekerja, akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil perlu berperan aktif dalam melakukan pengawasan publik terhadap jalannya seleksi. Pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik dan menyediakan akses terhadap hasil seleksi secara bertahap agar tidak muncul persepsi tertutup atau adanya permainan di balik proses.
Urgensi mengawal pelaksanaan Pansel calon Dewas dan Direksi BPJS periode 2026–2031 bukan hanya persoalan administratif, melainkan tanggung jawab moral dan politik publik untuk memastikan keberlanjutan sistem jaminan sosial nasional yang kredibel. Seleksi yang bersih akan melahirkan pimpinan berintegritas dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Dalam era keterbukaan informasi, manajemen yang baik dan transparan bukan lagi sekadar tuntutan ideal, melainkan kebutuhan dasar bagi lembaga publik untuk memperoleh kepercayaan rakyat. Pansel dan pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata terhadap prinsip good governance dengan membuka seluruh proses secara objektif dan dapat diaudit. Dengan cara itu, BPJS sebagai pilar jaminan sosial nasional dapat berfungsi optimal, memberikan perlindungan yang adil, serta memperkuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat konstitusi.*
