Polri di Persimpangan Kekuasaan
Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Dua puluh lima tahun setelah reformasi, polisi masih belum juga pulih dari penyakit lama, yakni haus kekuasaan dan takut kehilangan posisi. Lembaga yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru kerap tampil sebagai pelindung penguasa. Polri yang lahir dari rahim reformasi dengan janji menjadi aparat sipil yang profesional dan humanis, tampaknya tersesat di jalan panjang demokrasi.
Publik mulai kehilangan kepercayaan. Dalam banyak peristiwa, Polri terlihat lebih rajin menertibkan suara kritis daripada menegakkan hukum. Para aktivis dibungkam, oposisi ditekan, sementara mereka yang dekat dengan kekuasaan berjalan santai di atas pelanggaran. Polisi yang dulu digadang-gadang sebagai pengayom kini berubah menjadi alat politik. Istilah sinis “Parcok” menjadi semacam ejekan publik terhadap institusi yang kehilangan arah.
Krisis ini bukan sekadar soal oknum. Ini soal sistem, dan lebih dari itu yaitu soal moral. Dalam dokumen resminya, Polri mengaku berpegang pada meritokrasi, mulai dari rekrutmen transparan, promosi berdasarkan prestasi, pendidikan berjenjang. Tapi dalam praktiknya, semua itu terjungkal di bawah meja kekuasaan. Kedekatan menjadi mata uang baru dalam karier kepolisian. Loyalitas lebih mahal daripada integritas. Dan ketika loyalitas menggantikan meritokrasi, hukum pun menjadi alat, bukan nilai.
Jenderal Listyo Sigit Prabowo mewarisi institusi dengan luka lama, tapi ia juga menambah luka baru. Di bawah kepemimpinannya, sentralisasi kekuasaan di tubuh Polri makin menjadi-jadi. Jabatan strategis ditentukan oleh restu, bukan rekam jejak. Pendidikan kepolisian kehilangan maknanya, berubah menjadi ritual formalitas. Yang naik pangkat bukan yang berprestasi, melainkan yang pandai berpolitik di koridor institusi. Polri menjadi organisasi yang sibuk menatap ke atas, bukan menatap ke depan.
Masalahnya tidak berhenti di sana. Pemerintahan Joko Widodo menjadikan Polri bagian dari mesin politik. Polisi tidak lagi hanya menjaga keamanan, tapi juga mengamankan stabilitas kekuasaan. Dalam Pemilu 2024, publik menyaksikan betapa netralitas aparat penegak hukum menjadi barang langka. Kritik dianggap ancaman, oposisi diperlakukan seperti musuh negara. Maka wajar bila publik menunjuk dua nama yakni Jokowi dan Sigit, sebagai simbol kerusakan moral Polri hari ini.
Kepemimpinan Sigit gagal memelihara sistem meritokrasi, sementara Jokowi membiarkan Polri bertransformasi menjadi penjaga politik. Kombinasi keduanya menciptakan lembaga yang kuat tapi kehilangan legitimasi moral. Di sinilah tragedi Polri bermula, saat kekuasaan menggantikan hukum, dan kepatuhan menggantikan nurani.
Kini, bola berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Publik menunggu langkah berani, apakah ia akan mengembalikan Polri ke fitrah profesionalnya, atau membiarkannya tetap dalam bayang kekuasaan lama? Reposisi menjadi kata yang kerap terdengar, tapi keberanian moral adalah inti yang dibutuhkan. Tanpa mengganti kepemimpinan yang telah kehilangan kredibilitas, reformasi Polri hanya akan menjadi kosmetik politik.
Prabowo harus berani memutus rantai loyalitas lama yang membelit tubuh kepolisian. Ia harus menolak cawe-cawe politik dari siapa pun, termasuk dari tangan kekuasaan yang membentuknya. Sebab, jika Polri tetap menjadi alat penguasa, maka demokrasi akan terus berjalan di atas pondasi ketakutan, bukan keadilan.
Hannah Arendt pernah mengingatkan, “Ketika kekuasaan kehilangan moral, yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilembagakan”. Polri kini berdiri di tepi jurang itu. Mereka memiliki senjata, kewenangan, dan kekuatan, tapi kehilangan kendali etik. Legitimasi mereka tidak lagi dibangun dari kepercayaan rakyat, melainkan dari kedekatan dengan penguasa. Tanpa kepercayaan publik, seragam itu hanyalah simbol kekuasaan kosong.
Bangsa ini butuh polisi yang berani melawan arus politik, bukan mengalir bersamanya. Polisi yang berani menegakkan hukum, meski harus berhadapan dengan kekuasaan. Sebab, tugas polisi bukan menjaga penguasa, melainkan menjaga rakyat dari penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Maka ketika publik bertanya, “Siapa yang salah ketika Polri jadi parcok?”, jawabannya tak sesederhana menunjuk satu nama. Kesalahan itu kolektif. Ia lahir dari kompromi, dari diamnya kita terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan atas nama hukum. Selama kita membiarkan hukum tunduk pada politik, maka Polri akan terus menjadi alat, bukan pelindung.
Pada saat itulah, seragam cokelat tak lagi melambangkan kehormatan. Ia hanya menjadi simbol dari institusi yang kehilangan jiwa, institusi yang lupa bahwa keberanian moral adalah satu-satunya pangkat yang tidak bisa dibeli dengan kekuasaan.*
