Kamis, 23 Oktober 2025
Menu

Koalisi Sipil Ajukan Uji Materiil UU TNI ke MK Meski Gugatan Lain Berguguran

Redaksi
Koalisi Masyarakat Sipil usai ajukan permohonan uji materiil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, Kamis, 23/10/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Koalisi Masyarakat Sipil usai ajukan permohonan uji materiil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, Kamis, 23/10/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Koalisi masyarakat sipil mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan tersebut merupakan tindak lanjut dari kandasnya permohonan uji formil beberapa waktu silam.

Usai beberapa uji formil UU TNI kandas di Mahkamah, beberapa permohonan uji materil diajukan yakni Perkara Nomor 82, 68 dan 92/PUU-XXIII/2025. Namun, ketiga perkara tersebut tidak berlanjut karena para pemohonnya menarik kembali permohonan tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) KontraS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH APIK, dan 3 perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan uji materil UU TNI ke MK. Permohonan tersebut diajukan karena mereka menilai bahwa kondisi akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja dibandingkan dengan awal reformasi.

“Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai hari-hari ini situasinya tidak bisa dibilang baik-baik saja jika kita bandingkan sejak awal reformasi yang semangatnya penuh sekali untuk kemudian ada reformasi sektor keamanan,” kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan di luar Gedung MK, Kamis, 23/10/2025.

Dalam permohonannya, mereka menguji sejumlah konstitusionalitas norma dalam UU TNI karena dianggap membuka celah hukum dan berpotensi melampaui batas kewenangan militer. Salah satunya Pasal 7 ayat 2 huruf b yang mengatur tentang operasi militer selain perang. Dalam ketentuan tersebut, TNI diberi ruang untuk membantu pemerintah daerah dalam urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah, termasuk penanganan pemogokan dan konflik komunal. Pemohon menilai, pasal ini bermasalah karena tidak memiliki batasan hukum yang jelas.

Selain itu, Pasal 7 angka 9 terkair perbantuan militer untuk Pemerintah Daerah dan Pasal 7 angka 15 yang memuat ketentuan yang memungkinkan TNI terlibat dalam penanggulangan ancaman siber. Selanjutnya, Pasal 7 ayat 4 dipersoalkan karena dianggap membuka peluang bagi kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan operasi militer selain perang tanpa pengawasan efektif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pasal lain yang juga menjadi objek uji materi adalah Pasal 47 ayat 1 yang memperluas ruang lingkup jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Beberapa jabatan yang dipersoalkan antara lain di lingkungan Sekretariat Presiden, Kejaksaan Agung, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Selain itu, Pasal 53 ayat 1 dan 2 dalam revisi UU TNI yang memperpanjang masa pensiun prajurit, terutama bagi perwira tinggi atau jenderal, juga dinilai bermasalah.

Terakhir, para pemohon juga menggugat Pasal 74 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Pasal 65 yang mengatur prajurit TNI diadili di peradilan umum apabila melakukan tindak pidana umum baru berlaku setelah adanya revisi atau pembentukan undang-undang peradilan militer.

Dalam petitumnya, mereka mengajukan dua model petitum, yakni meminta tafsir konstitusional terhadap beberapa pasal yang dinilai tidak memiliki batasan hukum dan berpotensi diselewengkan karena ketentuan yang sumir.

“Sisanya kami meminta dihapus dan dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan yang misalnya di Undang-Undang 34/2004,” kata Perwakilan koalisi, Arief Maulana.

Oleh karenanya, para Pemohon meminta kepada MK agar membatalkan seluruh pasal-pasal bermasalah. Menurutnya, Mahkamah harus berani dalam mengambil sikap demi menyelamatkan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

“Jika kemudian pasal-pasal yang tadi kami sebutkan di awal tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, ke depan potensi pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang melibatkan tentara sebagai pelaku terhadap rakyatnya itu akan semakin tinggi,” ucapnya.

Gugatan UU TNI Berguguran di MK

Sebelum Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendaftarkan permohonan uji materiil, Mahkamah telah lebih dahulu menyidangkan tiga perkara berkaitan dengan UU TNI. Sejumlah perkara tersebut ialah Perkara Nomor 82, 68 dan 92/PUU-XXIII/2025. Namun, ketiga perkara tersebut tidak berlanjut karena para pemohonnya menarik kembali permohonan tersebut.

Pada Perkara Nomor 82/2025 yang diajukan oleh empat perorangan warga negara Indonesia atas nama Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan, mereka menguji Pasal Pasal 7 ayat 2 Angka 9 dan Angka 15 serta Pasal 47 ayat 1 UU TNI.

Mereka menilai bahwa keterlibatan TNI dalam ranah sipil dapat bersifat negatif apabila digunakan secara berlebihan atau tidak tepat secara kontekstual. Sebab, keterlibatan yang berlebihan dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan militer terhadap pelaksanaan peran utamanya dalam menghadapi perang.

Namun, permohonan tersebut mereka tarik dengan beberapa alasan. Dengan begitu, Mahkamah mengabulkan penarikan kembali para Pemohon.

Sedangkan pada hari ini, MK juga menggelar dua perkara terkait uji materil UU TNI yakni Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Prabu Sutisna, Haerul Kusuma, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Fachri Rasyidin, dan Chandra Jakaria dan Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, Tri Prasetio Putra Mumpuni.

Namun, agenda kali ini hanya terkait pencabutan permohonan kembali. Dalam alasannya, Prabu Sutisna selaku Pemohon Nomro 68/2025, mereka menilai bahwa kewenangan pengujian UU TNJ bersifat kebijakan hukum terbuka (Open legal policy) sesuai mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR.

Sementara Tri Prasetio Putra Mumpuni sebagai Pemohon dari Perkara Nomor 92/2025 mengatakan bahwa MK telah memutus pada perkara sebelumnya yang menyebutkan pengujian UU TNI ini bersifat open legal policy.

“Di samping itu, karena adanya keterbatasan finansial sebab Pemohon hanya perseorangan, dan setelah menghitung hingga nanti sidang berikutnya, kami tidak mampu untuk meng-cover hal tersebut, kami adalah masyarakat biasa,” katanya.

Setelahnya, Ketua MK Suhartoyo akan mempertimbangkan terkait penarikan permohonan dalam Rapat Permasyarakatan Hakim (RPH).

Sebelumnya, Para Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 menilai norma dalam UU TNI berpotensi disalahgunakan untuk mengangkat prajurit TNI ke jabatan strategis di pemerintahan demi kepentingan penguasa, bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil pasca reformasi 1998.

Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 menyebut, ketentuan perpanjangan masa dinas perwira tinggi tanpa mekanisme pengawasan membuka peluang penyalahgunaan wewenang eksekutif. Norma ini dianggap melanggar asas due process of law dan transparansi karena keputusan Presiden bersifat sepihak. Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 53 ayat 4 UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan mencabut UU tersebut.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi