Kamis, 23 Oktober 2025
Menu

Pupuk Disubsidi, Petani Tak Boleh Rugi

Redaksi
Perencana Ahli Madya, Kementerian PPN/Bappenas, Andi Setyo Pambudi. | Ist
Perencana Ahli Madya, Kementerian PPN/Bappenas, Andi Setyo Pambudi. | Ist
Bagikan:

Andi Setyo Pambudi

 

Perencana Ahli Madya, Kementerian PPN/Bappenas

 

FORUM KEADILAN – “Subsidi pupuk bukan soal anggaran semata, ini tentang keadilan bagi petani kecil,” tegas Presiden dalam arahannya saat Rapat Kabinet di Istana Negara pada awal September 2025. Kalimat itu menjadi gong reformasi besar yang diwujudkan lewat Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi. Presiden menegaskan, kebijakan baru ini memastikan subsidi benar-benar sampai ke tangan petani yang berhak, tanpa kebocoran dan tanpa permainan di rantai distribusi. Tindak lanjutnya jelas, saat ini pendaftaran calon penerima pupuk pada Titik Serah (PPTS) 2026 resmi dibuka pada tanggal 13-25 Oktober 2025 dengan berbagai persyaratan dengan harapan mampu mengakomodasi arahan presiden tersebut.

Langkah ini lahir dari keprihatinan panjang terhadap persoalan klasik: kelangkaan pupuk, tumpang tindih data, dan lemahnya pengawasan. Pemerintah memilih jalan reformasi struktural, bukan tambal sulam. Perpres 6/2025 menjadi fondasi utama, disusul Permentan 15/2025 yang mempertegas digitalisasi sistem penyaluran.

Kini, subsidi hanya diberikan kepada petani yang tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar di e-RDKK, sistem berbasis NIK dan alamat yang menjamin ketepatan sasaran. Hingga September 2025, 14,9 juta petani telah diverifikasi oleh dinas pertanian kabupaten/kota—menjadi basis data penting bagi kebijakan pangan nasional.

Koordinasi lintas kementerian pun diperkuat. Menko Pangan memimpin penetapan volume pupuk, Kementerian Keuangan menetapkan pagu subsidi, dan Kementan mengeluarkan SK alokasi nasional per provinsi. Pemerintah daerah dapat menyesuaikan alokasi sesuai kondisi lokal, sementara PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) memastikan distribusi berjalan efisien.

Prinsip “7 Tepat”— tepat harga, jenis, jumlah, mutu, penerima, tempat, dan waktu—kembali dijadikan ruh kebijakan. Prinsip ini dioperasionalkan melalui proses perencanaan, verifikasi, hingga distribusi yang berbasis data dan transparan.

Untuk memperkuat rantai distribusi, pemerintah juga menyesuaikan margin keuntungan. Berdasarkan kajian PSEKP dan reviu Itjen Kementan, margin baru ditetapkan per 1 Oktober 2025: Rp62,5/kg untuk distributor dan Rp144,24/kg untuk pengecer, sebagai kompensasi atas peningkatan biaya dan beban logistik.

Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi. Digitalisasi tanpa integritas justru berisiko menciptakan maladministrasi digital — data dimanipulasi, akses disalahgunakan, dan transparansi tergerus. Karena itu, pemerintah menekankan perlunya budaya integritas dan pengawasan berbasis risiko, sebagaimana diarahkan oleh pembentukan Sekretariat Komite Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) di bawah Bappenas.

Keberhasilan reformasi ini bergantung pada kolaborasi tiga pilar utama.

Pertama, pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kolaborasi antara Bappenas, Kementan, Kemenkeu, BPKP, dan Ombudsman RI harus memastikan bahwa pengawasan berjalan lintas sektor. Daerah perlu memperbarui e-RDKK setiap musim tanam mulai tahun anggaran 2026, agar data petani selalu mutakhir dan akurat.

Kedua, industri pupuk. PIHC dan anak perusahaannya harus memperkuat sistem logistik digital pada kuartal I 2026, menyatukan data stok dan distribusi dalam satu platform nasional agar tidak ada ruang penimbunan. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal bagi industri yang menerapkan efisiensi energi dan produksi pupuk ramah lingkungan, sejalan dengan agenda green economy RPJPN 2025–2045.

Ketiga, masyarakat sipil dan petani. Sejak pertengahan 2026, pemerintah dapat menggandeng organisasi petani, LSM, dan media lokal untuk mengawal transparansi harga dan distribusi. Uji coba dashboard pupuk nasional di lima provinsi pangan utama (Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Lampung, dan NTB) akan menjadi model pengawasan publik berbasis data.

Contoh sukses reformasi subsidi pupuk dapat dilihat dari India, yang memiliki skema subsidi terbesar dan paling terstruktur di dunia. Dengan anggaran mencapai miliaran dolar per tahun, pemerintah India menerapkan sistem Direct Benefit Transfer (DBT) yang menyalurkan subsidi langsung kepada produsen pupuk, sementara petani membeli pupuk dengan harga tetap. Digitalisasi data petani dan sistem pelacakan stok pupuk memungkinkan transparansi dan pengawasan real-time.

Pemerintah India juga menjalankan sistem pengawasan berlapis dari tingkat pusat hingga desa yang meminimalkan peluang penyimpangan. Kombinasi antara efisiensi fiskal, pengawasan ketat, dan teknologi digital membuat kebijakan pupuk India menjadi model reformasi yang berkelanjutan: menekan kebocoran tanpa mengorbankan kesejahteraan petani kecil.

Indonesia bisa meniru pola tersebut dengan menata reformasi dalam tiga tahap: 2025–2026 fokus pada regulasi dan data, 2026–2027 pada koordinasi dan insentif lintas sektor, dan setelahnya pada penguatan sistem partisipatif serta evaluasi berbasis risiko. Pendekatan bertahap ini memastikan keberlanjutan kebijakan sekaligus menciptakan ekosistem tata kelola yang tangguh dan adaptif.

Reformasi subsidi pupuk adalah ujian besar tata kelola negara: apakah birokrasi mampu bertransformasi menjadi institusi yang adil, transparan, dan berorientasi hasil. Langkah-langkah pembenahan ini menunjukkan arah baru; negara hadir bukan sekadar sebagai penyalur bantuan, tetapi sebagai pengelola keadilan dan keberlanjutan.

Dan di titik itu, pesan presiden menemukan maknanya. Subsidi pupuk bukan kemurahan hati negara, melainkan kewajiban konstitusional untuk menjaga kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Jika dijalankan dengan integritas, kolaborasi, dan keberlanjutan, Indonesia tak hanya memiliki sistem pupuk yang efisien, tetapi juga birokrasi yang tumbuh subur oleh kepercayaan rakyat. Sebab, negara hadir bukan karena petani membutuhkan, melainkan karena petani adalah alasan negara ada.*