Hakim Terdakwa Korupsi Migor Donasi Uang Hasil Suap ke NU Kartasura untuk Tebus Kesalahan

FORUM KEADILAN – Salah satu hakim terdakwa korupsi suap vonis lepas perkara ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak goreng menyebut bahwa uang hasil suap tersebut didonasikan ke Majelis Wilayah Cabang Nahdlatul Ulama (MWC) Kartasura sebagai bentuk penebusan kesalahan.
Hal itu disampaikan oleh hakim non aktif Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Djuyamto saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 22/10/2025.
Mulanya, Ketua Majelis Hakim Effendi menanyakan terkait alasan Djuyamto yang tidak berhenti menerima uang hasil suap vonis lepas minyak goreng meskipun dirinya mengklaim bersalah.
Menjawab hal tersebut, terdakwa lantas menyebut bahwa perbuatannya salah baik secara etik maupun pidana. Oleh karenanya, ia berusaha menebus kesalahan itu dengan memberikan sesuatu ke tanah kelahirannya.
“Niat saya, tujuan saya seperti itu. Maka ketika saya melakukan kesalahan dalam konteks penerimaan seperti itu, agar kesalahan saya kemudian tidak menjadi kesalahan yang lebih fatal lagi, maka saya gunakan uang yang saya peroleh dari kesalahan untuk hal-hal yang kemanfaatan sosial,” katanya di ruang sidang.
Apalagi, kata dia, pada saat itu dirinya ditunjuk sebagai ketua panitia pembangunan Kantor MWC NU di Kartasura.
Djuyamto kembali menegaskan bahwa organisasi Islam tersebut tidak bersalah, melainkan kesalahan ada pada dirinya.
“NU-nya tidak salah, cara saya yang salah. Cara saya berkhidmat, cara saya berbakti, cara saya mengabdi untuk kepentingan sosial dan budaya. Saya mengakui salah,” ucapnya.
Effendi lantas menanyakan apakah dirinya tidak merasa bersalah karena telah menyeret salah satu ormas keagamaan terbesar. Merespon hal itu, ia kembali menegaskan bahwa baik NU ataupun Nahdiyin tidak bersalah.
“Itu kan artinya menjerumuskan. Kalau tidak diberikan ke organisasi itu kan tentu tidak menyeret nama organisasi itu, terlepas itu tau atau tidak tahu,” tanya Effendi.
Djuyamto kembali mengakui kesalahannya. Di sisi lain, ia mengklaim bahwa telah melakukan pencarian dana dengan cara-cara yang halal, yakni dengan mengirimkan proposal ke para hakim lain yang tergabung dalam NU.
“Karena begini, kami juga tengah menempuh cara-cara yang dibenarkan melalui pemberian proposal. Bahkan nanti cek dengan temen hakim yang terafiliasi sama NU membentuk grup WA namanya ‘Nurani’. Saya sampaikan ke sana mohon bantuan proposal, tapi sampai setahun nyatanya tidak (terkumpul),” jelasnya.
Sebelumnya dalam sidang pemeriksaan saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Bendahara Majelis Wakil Cabang wilayah NU Kartasura Suratno. Dalam pengakuannya, dia menerima penyerahan uang dari Djuyamto sebanyak tiga kali dengan total Rp5 miliar yang ditujukan untuk pembangunan kantor terpadu MWC Nahdlatul Ulama (NU) wilayah Kartasura, Sukoharjo.
Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut bahwa eks Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta bersama dengan tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom beserta Wahyu Gunawan telah menerima gratifikasi berupa uang tunai dalam bentuk US$ sebanyak US$2,500,000 atau Rp32 miliar yang diberikan secara bertahap.
Adapun total yang di dapatkan para terdakwa melalui suap vonis lepas ini ialah, Arif menerima sebanyak Rp15,7 miliar; Wahyu mendapat Rp2,4 miliar; Djuyamto mendapat Rp9,5 miliar; dan dua hakim anggota lain masing-masing mendapat total Rp6,2 miliar.
Jaksa menyebut bahwa uang sebanyak Rp40 miliar tersebut diterima dari kuasa hukum terdakwa Korporasi, yakni Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Sabih dan M Syafe’i yang mewakili kepentingan Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.
Usai uang tersebut telah diterima, majelis hakim akhirnya memberikan vonis lepas terhadap tiga terdakwa Korporasi yang sebelumnya dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp17.708.848.928.104 (Rp17,7 triliun) di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.
Ketiga terdakwa korporasi dituntut membayar denda dan uang pengganti yang berbeda-beda. PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp11.880.351.802.619 atau (Rp11,8 triliun), Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp937.558.181.691,26 atau (Rp937,5 miliar), dan Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp4.890.938.943.794,1 atau (Rp4,8 triliun).
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf c subsider Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 12 huruf a subsider Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat 2 subsider Pasal 11 atau Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kemudian Pasal12 huruf c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi