Senin, 20 Oktober 2025
Menu

Prabowo Sebut Uang Korupsi Rp13 Triliun Kasus CPO Bisa Renovasi 8000 Sekolah dan Bangun 600 Desa Nelayan

Redaksi
Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan di Gedung Utama Kejagung, Senin, 20/10/2025 | YouTube Sekretariat Presiden
Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan di Gedung Utama Kejagung, Senin, 20/10/2025 | YouTube Sekretariat Presiden
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa uang sebesar Rp13,2 triliun hasil sitaan dari uang pengganti di kasus ekspor crude palm oil (CPO) bisa digunakan untuk merenovasi 8000 sekolah dan membangun 600 kampung nelayan di Indonesia.

Adapun uang tersebut diserahkan langsung oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di momen satu tahun pertama Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang jatuh pada hari ini, 20 Oktober 2025.

Mulanya, Prabowo mengucapkan rasa terima kasihnya kepada jajaran Korps Adhyaksa yang telah bekerja keras untuk melawan korupsi. Ia lantas menyebut bahwa uang Rp13 triliun bisa digunakan untuk merenovasi 8000 sekolah.

“Rp13 triliun ini kita bisa memperbaiki renovoasi 8000 sekolah lebih, 8000 lebih sekolah,” katanya di Gedung Utama Kejaksaan Agung (Kejagung).

Lebih lanjut, ia mengisyaratkan bahwa uang Rp13 triliun itu bisa digunakan untuk membangun kampung nelayan.

Menurutnya, satu kampung nelayan membutuhkan anggaran Rp22 miliar. Dengan uang Rp13 triliun, kata dia, sebanyak 600 desa nelayan akan terbangun.

“Sekarang kita memperbaiki, membangun desa-desa nelayan dengan fasilitas modern rencananya hingga akhir 2026 kita akan membikin 1100 desa nelayan. Tiap desa itu anggarannya Rp22 miliar, jadi Rp13 triliun ini kita bisa membangun 600 kampung nelayan,” tambahnya.

Dari kasus tersebut, ia menyoroti praktik penyimpangan dalam pengelolaan sektor kelapa sawit di Indonesia. Ia menilai, banyak pihak yang hanya mengejar keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Ini saya ibaratkan arti dari uang yang nyaris hilang ini baru sektor kelapa sawit. Dan satu bentuk penyimpangan yaitu tidak diutamakan atau dijatuhi kewajiban untuk menyediakan kebutuhan bangsa dan negara, padahal ini adalah bumi dan air milik bangsa Indonesia,” ujar Prabowo.

Prabowo menilai, praktik semacam itu telah membuat rakyat menderita, terutama saat terjadi kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu. Menurutnya, hasil dari bumi Indonesia seharusnya diprioritaskan untuk kepentingan rakyat, bukan justru diekspor tanpa kendali.

“Hasilnya dikeruk, dibawa ke luar negeri, rakyat dibiarkan kesulitan minyak goreng berminggu-minggu. Ini sebetulnya, menurut saya, sangat kejam dan tidak manusiawi. Apakah ini benar-benar keserakahan atau ini digolongkan subversi ekonomi,” ucapnya.

Sebelumnya, Kejagung menyerahkan uang sitaan dari uang pengganti sebesar Rp 13,2 triliun di kasus suap ekspor CPO alias minyak goreng ke Presiden Prabowo Subianto.

Penyerahan tersebut dilakukan usai Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis lepas yang dijatuhkan kepada tiga korporasi yakni Wilmar Group, Musim Mas Group dan Permata Hijau Group dalam kasus vonis lepas pengurusan izin ekspor CPO alias minyak goreng.

Untuk diketahui, tiga korporasi tersebut pernah dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp17.708.848.928.104 (Rp17,7 triliun) di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.

Ketiga terdakwa korporasi dituntut membayar denda dan uang pengganti yang berbeda-beda. PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp11.880.351.802.619 atau (Rp11,8 triliun), Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp937.558.181.691,26 atau (Rp937,5 miliar), dan Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp4.890.938.943.794,1 atau (Rp4,8 triliun).

Namun, dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengadili perkara tersebut menjatuhkan putusan lepas atau onslag. Adapun tiga majelis tersebut ialah Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

Setelahnya, Kejagung menyidik adanya indikasi kasus korupsi dan menetapkan sejumlah tersangka pada perkara tersebut.

Dalam sidang dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung menyebut bahwa Arif Nuryanta bersama dengan tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom beserta dengan Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Wahyu Gunawan telah menerima gratifikasi berupa uang tunai dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS) sebanyak US$2,500,000 atau Rp32 miliar yang diberikan secara bertahap.

Adapun total yang di dapatkan para terdakwa melalui suap vonis lepas ini ialah, Arif menerima sebanyak Rp15,7 miliar; Wahyu mendapat Rp2,4 miliar; Djuyamto mendapat Rp9,5 miliar; dan dua hakim anggota lain masing-masing mendapat total Rp6,2 miliar.

Jaksa menyebut bahwa uang sebanyak Rp40 miliar tersebut diterima dari kuasa hukum terdakwa Korporasi, yakni Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Sabih dan M Syafe’i yang mewakili kepentingan Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi