Sarung, Sandal Jepit, dan Martabat Santri

Ari Kurniansyah
Wartawan
FORUM KEADILAN – Sebuah stasiun televisi menayangkan kehidupan santri dengan nada jenaka dan membuat sebagian orang tertawa. Tapi di balik tawa itu, banyak hati yang terusik. Sebab, di balik sarung yang dilipat seadanya dan sandal jepit yang berserakan di serambi masjid, tersimpan nilai kehidupan yang tak sekadar ritual, tetapi juga martabat.
Di Balik Pagar Pesantren
Jam setengah tiga dini hari, sebagian besar kota masih terlelap. Tapi di Pondok Pesantren Qotrun Nada, kehidupan sudah bergulir. Muhammad Rusdy, salah satu alumninya, masih ingat jelas bunyi ketukan pintu asrama yang membangunkan para santri.
“Kita dibangunin sekitar jam setengah tiga buat salat tahajud,” kenangnya.
“Habis itu tadarus sampai azan subuh. Setelah salat subuh, lanjut baca ratib, terus ngaji kitab kuning,” ujarnya melanjutkan.
Suara percikan air wudu mengalir dari sumur di belakang asrama, bercampur dengan lantunan ayat-ayat suci yang mengalun dari surau kecil di sudut pesantren. Udara dini hari menembus dinding bambu, dinginnya menggigit kulit, namun justru di situlah hangatnya pendidikan terasa.
Dari dapur, aroma nasi yang dimasak bersama mulai menyeruak. Para santri yang bertugas di dapur sibuk mengipasi tungku, sementara di kejauhan terdengar suara sendok beradu dengan panci. Di sela waktu, beberapa santri berlari kecil menuju masjid, seolah tak ingin tertinggal. Sementara yang lain sudah lebih dulu melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Begitu azan subuh berkumandang, seluruh penghuni pondok berbaris menuju masjid. Setelah salat berjamaah, mereka membaca ratib al-Athas, lalu melanjutkan pengajian kitab kuning. Di antara lembaran kitab yang menguning dan aroma kopi hitam buatan santri, pagi di pesantren berjalan dengan tenang dan teratur.
Usai mengaji, sebagian santri mandi dan bersiap ke sekolah. Namun, sebelum pelajaran formal dimulai, mereka wajib mengikuti muhadasah, hafalan kosa kata bahasa Arab yang diulang bersama.
“Kalau belum hafal, belum boleh masuk kelas,” ujar Rusdy.
“Jadi hafalan itu kayak tiket buat belajar hari itu,” katanya.
Menjelang siang, halaman pesantren kembali ramai. Suara guru membaca kitab terdengar ritmis, berpadu dengan derit kipas angin tua di langit-langit kelas. Saat istirahat, aroma ikan asin dan nasi hangat dari dapur menyeruak, menggoda perut yang baru saja kenyang ilmu.
Malam hari, selepas isya, pondok kembali hening. Di bawah cahaya temaram lampu minyak, beberapa santri menulis surat untuk orang tua. Sebagian lagi menyalin pelajaran atau menulis puisi di kertas lusuh. Suara jangkrik dan katak menjadi latar. Tidak ada gawai, tidak ada notifikasi, hanya zikir yang pelan-pelan menutup hari.
“Kalau hidup di pesantren itu ya apa adanya,” kata Rusdy.
“Makan sama-sama, gak ada yang kaya atau miskin. Semua sama. Nyuci baju juga sendiri, gak ada yang bantuin. Kalau bukan kita yang nyuci, siapa lagi?” tanyanya sambil mengenang.
Kesederhanaan bukan sekadar gaya hidup, tapi bagian dari pendidikan karakter, dari mencuci baju sendiri hingga berbagi lauk di dapur. Para santri belajar tentang kemandirian, kebersamaan, dan gotong royong tanpa perlu diajarkan lewat teori.
Antara Takzim dan Salah Paham
Ketika tayangan televisi menggambarkan santri bersikap berlebihan terhadap gurunya, sebagian masyarakat luar menganggapnya feodal. Namun bagi Rusdy, pandangan itu muncul karena ketidaktahuan.
“Mereka itu kan orang awam, gak tahu kehidupan pesantren itu kayak gimana,” ujarnya pelan.
“Kalau kami hormat sama guru, itu bukan karena dipaksa. Tapi karena ingin ilmu yang diberi itu berkah. Takzim itu jalan buat dapat ridho,” jelas dia.
Di pesantren, menghormati guru bukan soal bentuk fisik, tapi sikap batin. Ada keyakinan bahwa ilmu takkan meresap tanpa adab. Dan di sinilah letak jurang persepsi antara dunia pesantren dan masyarakat urban yang serba instan.
“Mereka cuma tahu sandal hilang, sarung ketukar, terus dianggap lucu,” lanjut Rusdy.
“Padahal di balik sandal hilang itu, ada pelajaran ikhlas yang gak semua orang bisa jalani,” tutur dia.
Belajar Hidup, Bukan Sekadar Mengaji
Pengamat sosial dari Universitas Ibnu Chaldun Muhammad Reza Al Habsyi melihat kehidupan pesantren sebagai ruang latihan karakter yang utuh.
“Di pesantren itu kita belajar hidup mandiri. Jauh dari orang tua, dari fasilitas. Di sana muncul sifat kesederhanaan dan rendah hati,” jelasnya.
Kesederhanaan, menurutnya, adalah akar dari moralitas santri. Di pesantren, tidak semua punya kiriman uang yang cukup. Tapi di situlah rasa gotong royong tumbuh alami. Siapa yang punya lebih, membantu yang kekurangan. Siapa yang sakit, dirawat bersama.
“Nilai-nilai seperti tolong-menolong dan solidaritas itu tertanam kuat,” katanya.
“Dan itu yang seharusnya menjadi bekal ketika mereka keluar dari pesantren,” sambungnya.
Reza pun menilai, tayangan yang menyoroti santri dengan narasi negatif tidak hanya keliru secara etika, tapi juga mengabaikan keragaman budaya bangsa.
“Setiap tempat punya caranya sendiri menghormati guru. Kalau di pesantren cium tangan dianggap berlebihan, kenapa di dunia lain tidak disorot? Di militer, di kantor, bahkan di masyarakat umum juga ada bentuk penghormatan yang serupa,” tutur dia.
Baginya, penghormatan di pesantren bukanlah bentuk tunduk buta, melainkan cara mengekspresikan cinta dan penghargaan kepada pemberi ilmu.
“Guru di pesantren bukan hanya mengajar ilmu dunia, tapi juga makna hidup. Dan setiap ekspresi cinta, tak bisa diukur dengan kacamata modernisme kota,” tegasnya.
Lebih dari Sekadar Stereotip
Pesantren sering kali disalahpahami, dianggap kolot, tertutup, bahkan lucu. Padahal, bagi banyak santri, pesantren adalah tempat menempa diri-tempat di mana kesabaran, adab, dan kebersamaan diajarkan melalui keseharian, bukan ceramah. Rusdy pun menutup percakapan dengan pesan lembut namun dalam.
“Kalau belum tahu kehidupan pesantren, jangan langsung menilai. Coba tanya dulu ke yang paham. Biar gak salah tafsir,” tuturnya.
Bagi para santri, sarung dan sandal jepit bukan sekadar pakaian harian. Ia simbol kesederhanaan, kemandirian, dan kebersamaan. Mereka tidak mengejar kemewahan, tapi keberkahan.
Di tengah riuhnya dunia digital yang serba cepat menilai, kehidupan pesantren menjadi pengingat bahwa martabat tidak lahir dari apa yang kita punya, tapi dari cara kita menghormati ilmu dan manusia.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah