Sabtu, 18 Oktober 2025
Menu

Penulis Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki Baek Se-Hee Meninggal di Usia 35 Tahun

Redaksi
Baek Se-hee, penulis buku Penulis Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki asal Korea Selatan | Ist
Baek Se-hee, penulis buku Penulis Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki asal Korea Selatan | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Baek Se-hee, penulis asal Korea Selatan yang dikenal lewat tulisannya yang jujur dan menyentuh soal kesehatan mental, dikabarkan meninggal dunia di usia 35 tahun. Kabar duka ini meninggalkan kesedihan mendalam bagi para pembaca yang selama ini merasa terhubung dengan kisah-kisahnya. Kepergiannya bukan hanya kehilangan bagi dunia sastra, tetapi juga bagi banyak orang yang menemukan kekuatan lewat tulisannya.

Mengenal Baek Se-hee dan Perjalanan Karyanya

Baek Se-hee lahir sekitar tahun 1990 di Goyang, Korea Selatan. Ia pernah menempuh pendidikan di jurusan penulisan kreatif sebelum akhirnya bekerja di sebuah penerbit selama sekitar lima tahun. Selama hidupnya, Baek diketahui berjuang melawan dysthymia dan menjalani terapi secara rutin.

Pergulatannya dengan kesehatan mental inilah yang kemudian menjadi dasar bagi karya-karyanya. Ia menulis dengan gaya yang sederhana, jujur, dan penuh refleksi. Dalam setiap bukunya, Baek tak segan membagikan percakapan dengan psikiater, keresahan pribadi, hingga rasa lelah yang mungkin dirasakan banyak orang di usia produktif.

Gaya tulisannya dianggap unik karena terasa seperti percakapan intim antara teman lama—hangat, jujur, dan tanpa jarak. Dari sanalah banyak pembaca merasa tidak sendirian dalam menghadapi kegelisahan mereka.

Buku-Buku Baek Se-hee dan Makna di Baliknya

Meskipun usianya tergolong muda, Baek Se-hee telah meninggalkan sejumlah karya penting yang memberikan pengaruh besar terhadap percakapan global tentang kesehatan mental. Salah satu yang paling dikenal adalah I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki yang pertama kali terbit pada tahun 2018 di Korea Selatan dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2022.

Buku ini berbentuk memoar yang menampilkan dialog nyata antara Baek dan psikiaternya selama 12 minggu sesi terapi. Dalam percakapan tersebut, ia membahas topik-topik yang dekat dengan keseharian banyak orang, seperti rasa rendah diri, kecemasan, kehilangan arah, dan dorongan untuk tetap hidup meskipun merasa lelah. Dengan gaya yang sederhana namun mengena, Baek menggambarkan konflik batin antara keinginan menyerah dan hal-hal kecil yang membuat hidup tetap berharga—seperti keinginannya untuk makan tteokbokki, makanan favoritnya.

Buku ini kemudian menjadi fenomena internasional, terjual lebih dari satu juta eksemplar, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di seluruh dunia.

Setahun kemudian, ia menulis kelanjutan kisah tersebut dalam I Want to Die but I Still Want to Eat Tteokbokki yang terbit pada 2019 di Korea dan versi Inggrisnya menyusul pada 2024.

Dalam buku ini, Baek melanjutkan refleksinya terhadap proses terapi dan menggali lebih dalam tentang dinamika emosinya seiring waktu. Ia menunjukkan bahwa proses pemulihan tidak selalu linier, melainkan penuh pasang surut—namun tetap bernilai untuk dijalani.

Selain dua buku tersebut, Baek juga menulis karya fiksi pendek berjudul A Will from Barcelona yang dirilis pada 2025, memperlihatkan sisi lain dirinya sebagai penulis yang mampu mengekspresikan perasaan melalui narasi fiksi. Ia juga terlibat dalam dua proyek kolaboratif yang menonjol, yakni No One Will Ever Love You as Much as I Do (2021) yang membahas dinamika hubungan dan kasih sayang, serta I Want to Write, I Don’t Want to Write (2022) yang mengeksplorasi pergulatan kreatif dan identitas seorang penulis.

Karya-karya Baek bukan sekadar buku, melainkan ruang aman bagi banyak orang untuk mengakui perasaan yang kerap disembunyikan—rasa cemas, kehilangan arah, hingga keinginan untuk dimengerti. Dalam salah satu kutipan terkenalnya dari I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki, ia menulis:

“I wonder about others like me, who seem totally fine on the outside but are rotting on the inside …”

Kalimat itu menggambarkan esensi tulisannya: pengakuan akan luka batin yang tak selalu tampak di permukaan. Buku-bukunya bukan hanya membuka ruang empati, tetapi juga mendorong masyarakat untuk berbicara lebih terbuka tentang kesehatan mental dan pentingnya mencari bantuan profesional.

Kepergian yang Menggetarkan dan Warisan Kemanusiaan

Baek Se-hee meninggal dunia pada 16 Oktober 2025 di sebuah rumah sakit di Goyang. Hingga kini, penyebab kematiannya belum diungkapkan secara resmi oleh pihak berwenang.

Namun, yang paling menyentuh dari kisah kepergiannya adalah keputusan Baek untuk menyumbangkan organ-organ vitalnya—jantung, paru-paru, hati, dan ginjal—yang diketahui telah menyelamatkan lima nyawa. Tindakan mulia ini menjadi simbol nyata dari nilai-nilai yang sering muncul dalam tulisannya: empati, harapan, dan kasih terhadap sesama.

Keputusan tersebut juga menunjukkan bahwa meskipun Baek sering menulis tentang penderitaan batin, ia tetap membawa pesan tentang kebaikan dan kehidupan. Ia seakan mengajarkan bahwa bahkan dalam kesedihan, kita tetap bisa memberi makna bagi orang lain.

Mengapa Suara Seperti Baek Se-hee Begitu Penting

Baek Se-hee mungkin telah pergi, tetapi pesan dan suaranya akan terus hidup dalam hati banyak pembacanya. Ada beberapa alasan mengapa karya-karyanya terasa begitu relevan dan penting:

  1. Kejujuran yang Menyembuhkan

Baek menulis tanpa topeng. Ia mengungkapkan luka dan keraguan tanpa berusaha membuatnya tampak indah. Kejujuran itu justru menjadi kekuatan yang menyembuhkan banyak orang.

  1. Normalisasi Terapi dan Kesehatan Mental

Dalam budaya yang sering menganggap terapi sebagai hal tabu, Baek menunjukkan bahwa menjalani terapi bukan kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk mengenali diri sendiri.

  1. Solidaritas Lewat Cerita

Buku-bukunya memberikan rasa bahwa pembaca tidak sendirian. Melalui tulisannya, Baek menciptakan ruang di mana orang bisa merasa diterima, bahkan dengan segala kekurangannya.

  1. Makna Hidup yang Lebih Dalam

Keputusannya mendonorkan organ menegaskan pesan bahwa hidup tidak hanya tentang bertahan, tetapi juga memberi arti bagi orang lain—bahkan setelah kita tiada.

Kepergian Baek Se-hee pada usia 35 tahun menjadi kehilangan besar bagi dunia sastra dan bagi banyak orang yang menemukan ketenangan lewat tulisannya. Namun, warisan yang ia tinggalkan jauh lebih besar dari sekadar buku. Ia meninggalkan pemahaman bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kemanusiaan, bahwa kejujuran bisa menyembuhkan, dan bahwa kebaikan bisa hidup bahkan setelah seseorang tiada.

Lewat kata-katanya, Baek Se-hee mengingatkan kita untuk tetap jujur terhadap diri sendiri—meskipun dunia di luar tampak baik-baik saja, kita selalu berhak untuk mencari pertolongan, memahami rasa sakit, dan merayakan setiap bentuk keberanian untuk bertahan.*