Dianggap Bentuk Intervensi ke MA, MK Cabut Kewenangan Jaksa Agung Beri Pertimbangan Teknis di Tingkat Kasasi

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan Jaksa Agung dalam memberi pertimbangan teknis hukum ke Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi. Mahkamah menilai bahwa wewenang Jaksa Agung tersebut sebagai Jaksa Negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan berpotensi mengancam kemandirian lembaga peradilan.
Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Agus Setiawan, Sulaiman, Perhimpunan Pemuda Madani yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat 5, Pasal 11 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 30B huruf a, Pasal 35 ayat 1 huruf g dan huruf e, Undang-Undang (UU) Nomor Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Menyatakan Pasal 35 ayat 1 huruf e beserta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Kamis, 16/10/2025.
MK menegaskan bahwa Hakim Agung ataupun hakim peradilan yang berada di bawahnya dan Hakim Konstitusi harus menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan. Oleh karena itu, untuk menjaga kemandirian peradilan, terdapat larangan adanya campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman.
Sedangkan Pasal 35 UU Kejaksaan, Mahkamah menilai bahwa adanya ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai batasan atau pengaturan yang tegas mengenai pertimbangan teknis seperti apa yang dapat diberikan Jaksa Agung kepada MA. Apalagi, Jaksa Agung dalam perannya sebagai advocaat generaal yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
“Sekalipun norma pasal a quo memuat kata ‘dapat’ yang berarti Jaksa Agung diberikan kebebasan untuk mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung di setiap perkara kasasi atau tidak, namun justru dengan kata ‘dapat’ tersebut bukan tidak mungkin Jaksa Agung mengajukan pertimbangan teknis hukum pada semua perkara yang diajukan kasasi,” katanya.
Padahal, Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi merupakan pihak dalam perkara baik pidana, perdata dan tata usaha negara baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintahan, sehingga berpotensi menjadi pihak.
“Kedudukan yang demikian dalam batas penalaran yang wajar menurut Mahkamah berpotensi melanggar prinsip independensi peradilan dan mengancam kemandirian lembaga peradilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 karena memberikan ruang bagi Jaksa Agung sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif untuk melakukan intervensi dalam proses pengambilan putusan pengadilan yang merupakan ranah kekuasaan kehakiman, melalui pemberian pertimbangan teknis hukum pada tingkat kasasi,” ucapnya.
Meski jaksa sebagai advoocat general dapat dipahami bahwa hal tersebut berkenaan dengan fungsi jaksa ketika menjalankan wewenangnya dalam persidangan pada pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung di Belanda.
Namun, Mahkamah menilai bahwa jika ditinjau dari perspektif sistem peradilan di Indonesia yang saling menghormati kewenangan masing-masing lembaga yang berkaitan dengan pelaksana kekuasaan kehakiman, advocaat general seharusnya dipahami sebagai kewenangan Jaksa Agung sebagai pengacara negara yang mewakili kepentingan umum termasuk negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara.
“Oleh karena itu, posisi Jaksa Agung sebagai pengacara negara adalah pihak yang berperkara dan tidak tepat apabila dapat memberikan pendapat hukum kepada Mahkamah Agung karena hal tersebut beririsan dengan makna mencampuri independensi lembaga yudisial dan mengganggu kemandirian badan peradilan, in casu Mahkamah Agung,” katanya.
Pengambilan Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah. Menurut dua hakim ini, seharusnya MK menolak permohonan para Pemohon.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi